Di sisi lain dengan adanya kesepakatan itu, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat pimpinan Syafrudin Prawiranegara pun, diserahkan lagi ke Wakil Presiden Mohammad Hatta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Menteri Pertahanan ditugaskan ketua Koordinator Keamanan selama penarikan mundur tentara Belanda.
Sedianya Belanda dengan berat hati harus mematuhi hasil-hasil kesepakatan di atas. Mereka menganggap jika Yogyakarta ditinggalkan, pihak Republik takkan mampu menjaga kestabilan keamanan. Bahkan isu-isu pun disebar bahwa akan ada tindakan balasan terhadap para pendukung politik Belanda di Yogya.
Mereka menawarkan untuk ikut keluar Yogyakarta, seiring penarikan mundur tentara Belanda, baik dari elemen KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indische-Leger) atau tentara Hindia-Belanda, maupun KL (Koninklijke Landmaacht) atau angkatan darat Kerajaan Belanda, ke Magelang pada 24-29 Juni 1949.
Spirit tentara Belanda sendiri dikutip dari buku ‘Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Hamengku Buwono IX’, merosot lantaran harus angkat kaki dari Yogyakarta tanpa bertempur.
Suasa hati mereka bak diibaratkan dengan slogan “Weest wijs, maar wordt gek” yang kira-kira artinya, “Jadilah orang yang bijaksana, tetapi jadilah orang gila,”.