JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengecam masalah kabut asap akibat kebakaran hutan di beberapa daerah yang tidak kunjung tuntas selama 18 tahun. Walhi beranggapan kondisi ini telah melanggar hak asazi manusia (HAM).
Indikatornya adalah pelanggaran atas hak warga untuk hidup dan mendapatkan lingkungan yang sehat. Hal ini justru terjadi di mana secara kumulatif sebanyak 1,5 juta warga terkena dampak langsung dampak kabut asap dari 2011 hingga 2015.
Berdasarkan data yang dihimpun Walhi tahun 2015, dampak dari kabut asap tersebut telah menyebabkan sebanyak 9.286 jiwa warga menderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Provinsi Riau. Sementara itu, di Jambi 14.602 jiwa menderita ISPA, Sumatera Selatan 24.824 jiwa, dan Kalimantan Selatan sebanyak 6.300 jiwa.
“Inilah yang kita maksud dari pelanggaran HAM dan konstitusi. Di mana warga tidak mendapatkan lagi haknya sebagai warga negara untuk hidup di lingkungan yang sehat. Itu baru data mereka yang merasakan dampak langsung. Jika kita akumulasikan lagi mereka yang terpapar kabut asap dari 2011 hingga 2015 ada sebanyak puluhan juta jiwa,” kata Juru Bicara Walhi Mukri Friatna kepada Okezone, Minggu (6/9/2015).
Tidak hanya di provinsi yang langsung terkena bencana, pihaknya juga menyebutkan sejumlah provinsi yang mendapat asap kiriman seperti Bengkulu, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat. Masyarakat di provinsi tersebut juga terimbas kabut asap kiriman dari provinsi tetangga.
Seharusnya pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap penindakan dari oknum maupun perusahaan yang melakukan pembakaran hutan sehingga menimbulkan bencana kabut asap. Mukri menilai penanganan bencana kabut asap di era mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan era Presiden Joko Widodo tidak ada perbedaan.
“Belum ada yang bisa memberikan terobosan. Tidak ada yang berubah dari penanganan, sama-sama saja jika di lihat penanganannya. Terus sama-sama menghabiskan uang, namun pelaku tidak ada yang divonis. Bedanya, Jokowi langsung tanggap dan datang ke lokasi. Itu saja,” pungkasnya.
(Muhammad Sabarudin Rachmat (Okezone))