“Artikel yang mengutip pernyataan Wakil Presiden (RI) Jusuf Kalla, bahwa Singapura tak pernah ingin menandatangani perjanjian ekstradisi dan berharap Singapura berubah pikiran, adalah pernyataan tidak benar dan menyesatkan,” ungkap pernyataan Kemenlu Singapura di situsnya, mfa.gov.sg.
Kemenlu Singapura mengungkapkan bahwa sedianya perjanjian ekstradisi sudah pernah ditandatangani di Bali pada April 2007 lalu oleh Wapres JK sendiri dan disaksikan langsung oleh Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Perdana Menteri (PM) Singapura, Lee Hsien Loong.
Namun penandatanganan perjanjian bertajuk “Extradition Treaty and Defence Cooperation Agreement” tersebut, masih belum diratifikasi oleh DPR RI.
“Perjanjian tersebut saat ini masih menunggu ratifikasi DPR. Singapura sejatinya sudah siap melaksanakannya jika Indonesia juga sudah siap. Meski begitu, Singapura dan Indonesia terus menjalankan kerja sama bilateral yang baik perihal hukum dan kesepakatan terkait permasalahan kriminal,” lanjut pernyataan Kemenlu Singapura.
Untuk sementara ini, perihal buronan Indonesia yang “kabur” ke Singapura, Indonesia seolah harus menunggu izin tinggal mereka habis sebelum diusir pemerintah Singapura, jika ingin melakukan penangkapan.
Seperti dalam kasus pengusaha Hartawan Aluwi yang baru dideportasi pada Kamis, 21 April malam waktu setempat dari Singapura, setelah sempat kabur pada 2008. Sama halnya dengan tersangka kasus kasus dugaan korupsi dana hibah Bank Jatim, La Nyalla Mattalitti yang saat ini diyakini masih di Singapura.
Terkait kasus yang melibatkan nama La Nyalla, pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Singapura mengaku siap bekerja sama. “Singapura akan bekerja sama dan menyediakan bantuan bagi Indonesia dalam lingkup hukum kami dan kewajiban internasional,” timpal Kemendagri Singapura diwartakan Channel News Asia.
(Randy Wirayudha)