Jika kita cukup kritis untuk mencari tahu dan melihat tembakau atau nikotin yang terkandung dalam tembakau yang selalu dipermasalahkan, maka cukup banyak bukti juga yang mengatakan bahwa tembakau memiliki manfaat bagi kesehatan. Menurut dr Ttot Sudargo, peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), pada daun tembakau terdapat senyawa bioaktif seperti flavonoid dan fenol. Dua senyawa itu menjadi antioksidan yang dapat mencegah penyakit kanker, anti-karsinogen, anti-proliferasi, anti-flamasi, serta memberikan efek proteksi terhadap penyakit kardiovaskuler.
Selain itu, di dalam daun tembakau juga terdapat vitamin C atau asam askorbat yang menjadi antioksidan dan dapat bereaksi dengan antiradikal bebas dengan cara memberikan efek proteksi sel. Di dalam tembakau juga ada zinc (Zn) yang berguna dalam pembentukan struktur enzim dan protein yang bermanfaat bagi tubuh. Selain itu, tembakau juga mengandung minyak astiri (essential oil) yang dapat digunakan sebagai antibakteri dan antiseptik.
Atau, fakta virus ebola yang beberapa tahun lalu sempat menjadi satu wabah. Para ilmuwan Eropa menemukan bahwa tembakau dapat dijadikan bahan untuk pengobatan penyakit ebola karena memiliki kandungan protein yang besar sehingga meningkatkan daya tahan tubuh. Sayangnya, fakta-fakta tersebut dinafikan oleh para pegiat antitembakau yang patuh dengan doktrin bahwa "pokoknya tembakau buruk dan membunuh".
Komunitas kretek ingin mengajak publik untuk melihat sisi lain tembakau dari sudut pandang kebudayaan, sosial, dan ekonomi. Pada 2010, International Labour Organization (ILO) menyatakan bahwa sekurangnya 10 juta orang baik secara langsung maupun tidak langsung menggantungkan sumber kehidupannya dari tanaman tembakau. Mereka di antaranya adalah para petani tembakau, ribuan industri rokok kretek, pedagang klontongan, industri periklanan, dan lain-lain. Khusus untuk Indonesia dengan rokok kreteknya (tembakau dan cengkih), ada ratusan ribu petani cengkih yang hidup dari geliat industri tersebut.
Belum lagi ratusan triliun pendapatan negara dari cukai dan pajak produk hasil tembakau. Tercatat pada 2015, cukai rokok masuk ke kas negara sebesar Rp139,5 triliun, dan terus meningkat setiap tahunnya.
Jika tembakau benar-benar sebagai pembunuh, lalu kenapa tanaman tersebut tidak dinyatakan terlarang? Jika tembakau dan produk hasil tembakau pada akhirnya dilarang, apakah para pegiat antitembakau siap memberikan dana ratusan triliun kepada kas negara dan mencarikan pekerjaan bagi jutaan orang yang akan kehilangan sumber penghidupannya?
Dilandasi oleh pemahaman tersebut, aksi dengan tajuk #TerimakasihTembakau adalah aksi yang ingin mengajak publik untuk berpikir kritis melihat satu kontroversi. Aksi ini tidak mengajak orang untuk mengonsumsi tembakau atau rokok. Karena hal itu adalah pilihan bebas dari setiap individu.
Aksi ini hanya ingin memberikan wacana yang berbeda kepada publik dalam melihat persoalan pertembakauan. Melihat sebuah subjek dan objek dari berbagai sisi, agar dapat menilai suatu hal secara objektif dan tidak mudah menghakimi tembakau sebagai produk yang buruk dan tak bermanfaat.
(Mico Desrianto)