 
                
JAKARTA – Lemahnya pengawasan lembaga tinggi yudikatif seperti Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) terhadap hakim di pengadilan dinilai menjadi penyebab utama maraknya mafia peradilan yang belakangan ini terjadi di Indonesia.
Menurut Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting, kalau dilihat dari kasus terakhir yang terjadi pada Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Janner Purba atas kasus dugaan suap senilai Rp1 miliar, itu adalah gambaran masih lemahnya sistem peradilan di Indonesia.
"Sehingga dengan semua kondisi ini dapat disimpulkan bahwa kondisi pengawasannya lemah. Terlebih lagi sistem pengawasan itu tidak terintegrasi dengan sistem rotasi dan mutasi," ujar Miko saat berbincang dengan Okezone, Selasa 31 Mei 2016 malam.
Miko menilai, ada dua faktor penyebab lemahnya sistem pengawasan oleh lembaga tinggi yudikatif di Indonesia. Faktor tersebut di antaranya ketimpangan kewenangan serta aturan yang belum dioptimalisasi oleh lembaga yudikatif.
"Kalau kita bilang pengawasan hakim kan ada dua. Satu dari badan pengawasan Mahkamah Agung, satu lagi Komisi Yudisial. Nah, badan pengawasan kan dari konstitusi dan sumber daya terbatas sehingga memang efektivitas pengawasan masih dipertanyakan," tuturnya.
(Baca Juga : Mafia Peradilan di Indonesia Ibarat "Buang Angin")
Selain itu, sanksi yang diberikan untuk hakim yang melakukan pelanggaran pun dinilai masih belum tegas. PSHK mencatat terdapat beberapa hakim yang mendapatkan sanksi, namun masih tetap memperoleh promosi serta mutasi dari lembaga institusinya.
"Ini yang perlu dilihat dan tak kalah penting memang sanskinya yang belum tegas. Sistem pengawasan yang tidak terintegrasi oleh sistem promosi dan mutasi," katanya.
(Erha Aprili Ramadhoni)