Sementara Ketua MUI Tulungagung, KH Mashadi Mahfudz atau biasa dipanggil Gus Hadi mengatakan bahwa secara syar’i usia F memang belum akil baliq. Karenanya, jenis hukuman yang patut diterimanya adalah melanjutkan sekali sekolahnya. “Dikembalikan untuk dibina orangtua. Dan orangtuanya juga menyanggupinya,” ujarnya.
Gus Hadi berharap kasus ini jangan sampai terulang lagi. Sebab, agama khususnya menyangkut hal prinsip yang tidak bisa dicampuradukkan dengan gurauan. “Harapannya hal ini bisa menjadi jera,” ujarnya.
Luluk Wijiastuti (33) ibunda F mengakui, anaknya selama ini tinggal di Desa Tanggulkundung bersama orangtuanya. Sedangkan dirinya berdomisili di Kabupaten Ponorogo bersama suami keduanya.
“Anak saya putus sekolah MTs karena mengikuti teman temanya. Ia pindah swasta karena teman juga,” tuturnya.
Sebagai orangtua, Luluk meminta maaf atas apa yang dilakukan putranya. Ia berencana membawa F ke Ponorogo dan berjanji akan bersungguh-sungguh membinanya. “Rencanaya juga akan saya masukkan ke pondok pesantren dekat rumah,” ujarnya.
Juru bicara Bapas Kediri, Ida Wening mengatakan, pihaknya akan terus melakukan pembinaan selama enam bulan. Setiap satu dua pekan sekali petugas akan datang ke rumah orangtua F. Jika pembinaan tidak mengubah perilakunya, secara hukum aparat hukum bisa mengalihkan status diversi F kembali ke pidana.
“Bisa disidangkan secara pidana bila memang pembinaan tidak mampu mengubah perilaku yang bersangkutan,” tegasnya.
Dalam kasus ini, Bapas mengatakan bahwa kasus Tulungagung merupakan yang pertama kalinya. Sebagian besar kasus anak yang meningkat selama bulan puasa adalah terkait pencurian, pelecehan seksual, dan perkelahian.
(Salman Mardira)