“Jelas bahwa yang paling penting dari reklamasi adalah tujuannya. Apabila teknik yang dipilih malah membuat tujuan reklamasi tidak tercapai, maka perlu dikoreksi,” kata Teguh lagi.
Dalam Perpres 122/2012 juga disebutkan bahwa penentuan lokasi reklamasi berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi. Sementara, Pemprov DKI Jakarta memulai reklamasi sebelum Perda RZWP3K diputuskan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa reklamasi yang dilakukan itu bersifat liar dan cacat hukum.
Menurut hemat Teguh, sebaiknya Gubernur Basuki Tjahaja Purnama koperatif dalam menyikapi pembatalan itu, dan mengoreksi pendekatan pembangunan yang selama ini dipilihnya, terutama yang terkait reklamasi di pantai utara Jakarta. Tidak elok bila Ahok membawa-bawa Presiden Jokowi ke tengah arena. Juga tidak pantas Ahok mempertanyakan bobot pernyataan seorang Menko yang dapat dipastikan bertindak atas pengarahan dari Presiden.
“Perencanaan dan pelaksanaan reklamasi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta terlihat tidak rapi dan serampangan, mengabaikan kepentingan yang lebih luas, mengabaikan aspirasi masyarakat. Ini melanggar prinsip-prinsip pemerintahan yang baik,” kata Teguh.
Cara Ahok menangani pembangunan Jakarta dengan serampangan, menurut dia, terbukti dari banyaknya skandal yang belakangan muncul ke permukaan, mulai dari kasus pembelian lahan RS Sumber Waras dan kasus pembelian lahan di Cengkareng Barat, juga kasus penggusuran yang memupuk kebencian masyarakat padanya.
(Muhammad Saifullah )