Selepas tiga-empat bulan, mereka harus menerima kenyataan bahwa sang kepala keluarga telah kembali ke asalnya. Christina tidak siap, tetapi dia harus kuat. Setidaknya di depan adik laki-laki dan perempuannya.
“Saya tidak siap mendengar ini. Terutama setelah segala sesuatu yang keluarga saya lalui. Butuh beberapa hari bagi saya untuk mengerti bahwa ini benar-benar terjadi. Saya tidak mau kehilangan dia,” ujarnya.
Christina tentu bukan satu-satunya yang mengalami trauma batin ini. Namun, setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk melanjutkan hidup.
“Awalnya, saya membiarkan kesedihan menyelubungi saya. Lalu saya sadar bahwa orang-orang juga merasakannya dan ini adalah bagian dari hidup saya. Mulai dari situ, saya meredamnya. Baru ketika beranjak dewasa, saya sadar bahwa saya bisa melakukan sesuatu dan berkontribusi positif keluar dari tragedi ini,” cetusnya.
Kini, perempuan yang berprofesi sebagai investor perusahaan modal ventura itu bergabung dalam Project Rebirth. Komunitas yang berisi orang-orang yang terdampak serangan 9/11 belajar untuk bertahan melalui tragedi tersebut.
Beberapa tahun kemudian, ibu Christina menikah lagi. Momen ini menjadi ujian kedua baginya, karena dia tidak terlalu suka dengan ayah tirinya. Namun dia bersyukur, sekarang hubungan mereka sudah lebih baik. Meski punya ayah baru, dia menegaskan takkan pernah lupa pada ayah kandungnya.
“Bahkan setelah 15 tahun berlalu sejak 9/11, saya masih memikirkan ayah saya setiap hari. Bagaimana bisa saya melupakannya?” tegas Christina.
(Silviana Dharma)