Menurut Marsudhi Hanafi, ada enam eksemplar salinan dokumen yang diserahkan kepada Pemerintah SBY saat itu. Secara simbolik naskah pertama diserahkan kepada SBY sebagai Presiden saat itu dan disaksikan semua yang hadir dalam pertemuan pemerintah dengan TPF pada akhir Juni 2005.
Marsudhi mengakui nama mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono disebut masuk dalam hasil laporan TPF pembunuhan Munir. Hanya saja, saat TPF Munir bekerja, belum ada bukti yang cukup untuk terkait keterlibatan Hendropriyono.
Pemerintah Jokowi, ujarnya, bisa saja membuka kembali penyelidikan lanjutan atas kasus itu, kalau memang ditemukan bukti baru (novum).
Memang tak dipungkiri, pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib memang masih menyisakan duka mendalam, khususnya bagi keluarga yang menginginkan kasus ini segera terungkap.
Namun bagi bangsa Indonesia, hendaknya kasus ini dapat dijadikan suatu pelajaran agar meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter karena warga negara memiliki hak untuk memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman. Di sisi lain, Indonesia kini memiliki sistem pemerintahan demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi HAM seluruh masyarakat Indonesia.
Demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, hasil penyelidikan TPF kasus Munir sejatinya bisa menjadi pintu awal untuk membuka dan mengungkap kasus itu secara tuntas. Jika bukti baru kasus tersebut bisa diungkap maka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus pembunuhan Munir dapat dibuka kembali.
Kini publik pun menanti langkah Presiden Jokowi dan jajarannya untuk mengungkap isi dokumen TPF tersebut ke publik, sekaligus memerintahkan kepolisian dan kejaksaan melanjutkan proses hukum kasus Munir.
Mengungkap kasus ini secara tuntas dan mengadili dalangnya bukan hanya akan menunjukkan sejauh mana komitmen pemerintahan Jokowi-JK dalam penegakan HAM, tetapi juga menjadi tolak ukur bagi Indonesia sebagai negara demokrasi yang dengan sungguh-sungguh melindungi HAM.
(Rizka Diputra)