Kendati badannya mulai renta, namun ingatan pria berusia 82 tahun ini masih kuat. Terbukti dari dia menuturkan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, hingga soal dua anggota keluarganya yang ikut jadi korban Peniwen Affairs.
Singkat kisah bahwa pada suatu hari Sabtu 19 Februari 1949, datang dua rombongan tentara Belanda dari arah utara dan barat. Rombongan “grup” utara yang lebih dulu tiba di Desa Peniwen, setelah sempat terlibat baku tembak dengan beberapa anggota KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) Brigade XVI.
Tapi setelah baku tembak, pasukan Belanda itu datang ke Desa Peniwen dan langsung menggeledah sebuah RS bernama Panti Husodo. RS dadakan sebetulnya, karena awalnya itu adalah bangunan Sekolah Rakyat yang awalnya diubah jadi klinik dan kemudian jadi RS pada 1947.
“Belanda itu salah terka. Dikiranya (RS) itu markas tentara Indonesia. Mereka datangi RS itu hari Sabtu kira-kira jam 3-4 sore dan teriak memerintahkan semua orang untuk keluar. Ada yang diikat tangannya dan perawat atau pasien yang tidak kebagian tali untuk mengikat, dikumpulkan di halaman depan,” ungkap Wim Banu kepada Okezone.
“Yang dikumpulkan di halaman depan RS itu ada tiga perawat dan tiga pasien. Sempat ada jeda hening, sebelum ada satu per satu suara tembakan. Di antara dua palang merah yang tewas itu kakak saya (Sujono) dan ipar saya (Slamet Ponidjo),” imbuhnya yang mengaku rumahnya tepat berada di seberang RS itu.
Salah satu pasien yang dieksekusi dan diberondong peluru Belanda, ternyata masih ada yang hidup. “Rupanya ada satu pasien yang masih hidup, pelurunya enggak tembus ke jantung, tapi sudah berdarah-darah,” tutur Wim Banu.