Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

NEWS STORY: Peniwen Affairs, Ketika PMR & Pasien Diberondong Peluru

Randy Wirayudha , Jurnalis-Minggu, 04 Desember 2016 |08:34 WIB
NEWS STORY: Peniwen <i>Affairs</i>, Ketika PMR & Pasien Diberondong Peluru
Wim Banu, saksi hidup sekaligus keluarga salah korban Peniwen Affairs (Foto: Randy Wirayudha)
A
A
A

“Saat Belanda masih ada, dia pura-pura mati. Tapi ketika Belanda pergi, dia merangkak pelan-pelan ke rumah saya. Dia tergeletak kemudian di ruang tamu,” sambungnya yang mengisahkan pasien itu bernama Kasman dan selamat karena pada akhirnya dibawa ke RS di Kepanjen.

Peristiwa itu jadi kegemparan tersendiri karena selama ini, desa mereka tergolong tenang dan tenteram. Desanya pun ramai karena termasuk maju. Tapi kejadian itu takkan jadi yang terakhir, lantaran datang lagi satu grup tentara Belanda lainnya dari arah barat.

Tapi berbeda dari kelompok yang pertama, tentara Belanda yang datang menjelang malam ini setidaknya lebih “bersahabat”. Ayahnya bahkan sempat diajak bicara oleh salah satu komandannya, setelah Wim Banu dan keluarganya keluar dari tempat persembunyian.

Malah kedatangan tentara Belanda yang kedua itu terjadi tak lama setelah mereka menguburkan enam mayat. Yang ditembak mati di halaman memang lima, tapi ternyata saat meninggalkan desa itu, ada satu warga lainnya yang ditembak begitu saja oleh tentara Belanda. Jadi jumlahnya pun tetap enam yang dikuburkan.

Setelah tentara Belanda datang ke rumah Wim Banu dan sedikit berbincang dengan ayahnya yang dulunya sebagai guru di Sekolah Rakyat, rumahnya sempat “disulap” jadi tempat persinggahan dan dapur umum. Wim masih ingat betul ketika dia disuruh cari kayu bakar agar tentara Belanda bisa memasak.

“Setelah kami keluar dari tempat persembunyian, rumah kami dijadikan tempat singgah dan dapur umum. Saya masih ingat, masih ada satu mandor dapur tentara Belanda, nyuruh-nyuruh saya dengan membentak untuk cari kayu bakar,” kenangnya lagi.

Pagi di keesokan harinya, rumahnya sudah kosong lagi karena tentara Belanda itu sudah pergi pagi-pagi sekali. Nah tiga hari setelah kejadian, ada seorang pendeta pribumi yang protes dengan menuliskan surat ke Sinode (persekutuan gereja) di Malang dan diteruskan dalam Bahasa Inggris ke Komisi Tiga Negara (KTN), Persekutuan Gereja di Belanda dan WCC atau Dewan Gereja Dunia di Swiss.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement