DALAM sistem ketatanegaraan kita, partai politik memiliki kedudukan dan peran sangat penting dan strategis sebagai institusi satu-satunya yang berhak mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat 2 UUDN RI 1945) yang nantinya memiliki kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Hak konstitusional itu tidak dimiliki oleh lembaga demokrasi mana pun selain partai politik. Seorang tokoh politik, kharismatik, populer, dan atau tokoh yang memiliki tingkat elektoral tinggi hanya menjadi mimpi di siang bolong jika partai politik tidak mengusulkannya menjadi calon Presiden.
Mpu politik sekelas Akbar Tanjung (AT) yang sedari muda menjadi politisi, menteri tiga kali, ketua umum partai, ketua DPR dan malang melintang di dunia aktivis dari ketua umum PB HMI, pendiri kelompok Cipayung (HMI, PMII, GMKI, PMKRI dan GMNI) serta pencetus lahirnya KNPI dan AMPI tidak pernah mencicipi calon Presiden karena gagal atau tidak diusulkan partai politik.
Sayangnya, partai politik saat ini kembali ternodai dengan munculnya isu mahar politik dalam perhelatan pilkada serentak 2018 di 171 daerah seluruh Indonesia.
Peristiwa dan Risiko Hukum
Pengakuan La Nyalla Mattalitti, seorang bakal calon gubernur Jawa Timur, menghentak publik karena merasa diperas oleh Partai Gerindra setelah mengeluarkan uang sebesar Rp5,9 miliar.
La Nyalla juga mengaku telah dimintai pengurus partai DPD I Gerindra Jawa Timur senilai Rp 40 miliar (11/1/2018) dari total Rp170 miliar. Nyalla pun telah mengeluarkan cek sebesar Rp70 miliar yang dapat dicairkan jika rekomendasi sudah ada di tangan. Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, rekomendasi tak kunjung diterima hingga tanggal batas pengajuan bakal calon ditutup KPUD.
Di Cirebon, Jawa Barat, Siswandi, seorang pensiunan Polri berpangkat Brigadir Jenderal juga gagal melaju ke pencalonan Wali Kota karena tidak mampu memenuhi permintaan sejumlah uang oleh pengurus DPD II PKS sebagai mahar politik. Bernasib sama dengan La Nyalla, Siswandi pun ikut bernyanyi di pelbagai media menyampaikan kekesalannya. Kedua kasus di atas, kini sedang ditangani Bawaslu masing-masing.
Bahkan, gegara mahar politik, Partai Hanura secara mengejutkan tiba-tiba terguncang prahara dengan mendongkel ketua umumnya Oesman Sapta Odang (OSO). Diduga, uang mahar politik sebesar Rp200 miliar (18/1/2018) masuk ke kantong pribadi sang ketua umum. Tak perlu waktu lama, OSO pun tersungkur melalui mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh 27 DPD I dan 401 DPC II pengurus Partai Hanura di pelbagai daerah.