Melihat peristiwa politik di atas, beberapa soal yang perlu penataan ulang sistem untuk mengatasi permasalahan kehidupan politik, di antaranya:
Pertama, kejahatan politik berupa setoran mahar politik yang sering dihaluskan sebagai uang saksi disebabkan karena ketiadaan pendanaan yang cukup terhadap partai politik. Partai politik selama ini hanya menerima berupa bantuan yang dinilai kurang cukup guna membayar operasional partai dan kesekretariatan yang diberikan oleh pemerintah.
Saatnya menimbang sistem pendanaan parpol dalam suatu undang-undang dengan membiayai parpol dari APBN sebesar Rp1 triliun sampai Rp2 triliun per partai atau minimal 50% dari kebutuhan parpol diiringi dengan mekanisme pertanggungjawaban yang ketat dan penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan APBN.
Kebijakan tersebut jauh lebih menguntungkan daripada menggunakan bancakan APBN untuk kepentingan parpol atau pribadi hingga puluhan triliun seperti kasus Nazaruddin dan Setya Novanto.
Fakta peristiwa mahar politik juga diakibatkan karena mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh parpol mapun calon. Mulai dari masa persiapan, biaya atribut dan kampanye, biaya saksi, membayar parpol, dan lain-lain yang ditaksir puluhan hingga ratusan miliar tergantung luasan, jumlah penduduk dan basah atau keringnya daerah.
Kedua, perlunya memuat ketentuan tegas larangan penggunaan pengaruh karena kedudukan atau jabatan dalam pelaksanaan pilkada dengan sanksi tegas dan pemidanaan dengan ancaman hukuman maksimal atas pelanggaran dimaksud.
Baik pengaturannya terkait dengan UU Pemerintahan Daerah, UU ASN, UU Kepolisian, UU TNI, UU Kejaksaan maupun UU Kementerian Negara atau UU yang terkait dengan jabatan publik yang dinilai dapat memengaruhi jalannya pilkada karena upaya kriminalisasi.
Ketiga, penataan kelembagaan politik seperti partai politik dengan melakukan pengetatan persyaratan pendirian parpol dan bukan membatasi pendirian parpol melalui kebijakan diskriminatif dengan dalih penyederhanaan tapi melanggar hak-hak warga negara untuk berserikat. Penentuan persentase parpol dalam pengajuan calon presiden merupakan wujud diskriminasi politik terhadap parpol baru karena tidak memiliki jumlah kursi atau suara sah nasional.
Keempat, perlunya kebijakan baru di internal masing-masing parpol terkait tata cara dan syarat pencalonan dalam pilkada dengan memberikan kewenangan pengusulan di tingkat daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sebagai konsep desentralisasi kebijakan politik pilkada guna menghindari politik sentralistik-monopolik DPP Partai Politik.