SUASANA di Gereja Katolik Santa Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta sekira pukul 07.35 WIB, Minggu 11 Februari 2018 tiba-tiba mencekam. Seorang pria masuk ke dalam gereja sambil menenteng pedang. Pria tersebut kemudian mengamuk di tengah para jemaat yang sedang melaksanakan ibadah Misa. Sontak kepanikan terjadi, para jemaat berhamburan menyelamatkan diri.
Pemuda bernama Suliyono, yang berstatus sebagai mahasiswa itu masuk dari pintu gereja bagian barat. Ia kemudian secara membabi buta menyerang Martinus Parmadi Subiantoro. Sabetan senjata tajam mengenai punggung Martinus.
Selanjutnya pelaku masuk ke gedung utama gereja sembari mengayunkan pedang sehingga para jemaat berlarian menyelamatkan diri. Pelaku lalu berlari ke ruang paduan suara dan menyerang Romo Prier yang sedang memimpin Misa. Pelaku juga mengayun-ayunkan senjata tajamnya itu ke arah Patung Jesus dan Bunda Maria di gereja tersebut.
Korban selanjutnya adalah Budijono, yang mengalami luka sobek pada bagian kepala belakang dan leher bagian belakang.

Polisi yang tiba di lokasi kejadian mencoba bernegosiasi meminta pelaku menyerahkan diri. Namun, pelaku justru menyerang petugas sehingga terpaksa dikeluarkan tembakan peringatan. Tak gentar dengan ancaman polisi, pelaku kembali menyerang dan mengenai tangan Aiptu Al Munir. Polisi langsung menembak pelaku yang mengenai bagian perut.
(Baca juga: Cerita Aiptu Almunir Lumpuhkan Penyerang Gereja hingga Kena Tebasan Pedang)
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, berdasarkan hasil penyelidikan sementara, pelaku penyerangan Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Dia juga pernah tinggal di daerah Poso, Sulawesi Tengah dan Magelang, Jawa Tengah. Dari daerah itulah pelaku diduga kuat terdoktrin paham intoleransi.
Namun, polisi belum mendapat petunjuk yang dapat menyimpulkan atau mengaitkan peristiwa penyerangan di Sleman Yogyakarta itu dengan jaringan Santoso di Poso, maupun jaringan terorisme lainnya di Magelang, Jawa Tengah.

"Sampai saat ini belum temukan indikasi itu, kita anggap ini spontan, fakta hukumnya spontan, tapi terus didalami," kata Tito di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (12/2/2018).
(Baca juga: Kapolri: Penyerang Gereja Lidwina Yogyakarta Terindikasi Paham Radikal)
Pihaknya masih mencari tahu, apakah Suliyono beraksi sendiri atau mengikuti jaringan teroris. "Persoalannya apakah bekerja sendiri, lone wolf atau bagian dari jaringan, ini sedang dikembangkan, sedang dikejar terus oleh tim Mabes Polri dan Polda DIY," ujarnya.
Tito juga meminta masyarakat untuk tidak mudah termakan spekulasi liar soal motif di balik penyerangan Gereja Santa Lidwina. Tito khawatir, kesimpulan tanpa dasar justru akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, utamanya di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mantan Kapolda Metro Jaya itu menegaskan, polisi sedang mengumpulkan keterangan saksi-saksi dan barang bukti untuk mengungkap motif pelaku. Tito yakin, secepat mungkin kasus itu akan terungkap dan menjadi terang.
Penyerangan di Gereja Santa Lidwina ini tak berselang lama dengan sejumlah penyerangan yang dialami oleh para tokoh agama. Dalam tiga pekan terakhir, aksi penyerangan memakan korban seperti KH Emon Umar Basyri, Ustaz Prawoto dan Ustaz Abdul Basit. Rentetan peristiwa ini tentu wajib mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Terkait sejumla kasus di atas, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian angkat bicara. Kepala Negara menegaskan konstitusi menjamin kebebasan beragama di Indonesia. “Oleh sebab itu, kita tidak memberikan tempat kepada orang-orang yang melakukan, mengembangkan, menyebarkan intoleransi di negara kita," tegas Jokowi usai meresmikan Raker Kepala Perwakilan RI dengan Kemenlu di Gedung Pancasila, Jakarta, Senin (12/2).
(Baca juga: Jokowi: Tidak Ada Tempat bagi Mereka yang Tak Mampu Bertoleransi!)
Jokowi melanjutkan, Pemerintah tidak akan memberikan tempat bagi orang yang tidak mampu bertorelansi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Polri telah diinstruksikan untuk mengambil tindakan tegas lantaran negara harus menjamin kebebasan memeluk agama yang diatur dalam UUD 1945.
"Saya sudah perintahkan kepada aparat untuk bertindak tegas dan negara menjamin penegakan konstitusi secara terus menerus," tambahnya.

Kecaman juga keluar dari Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifudin. Menurutnya, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Peristiwa ini, lanjut dia, harus disikapi dengan kewaspadaan seluruh umat untuk lebih menjaga para pemuka agamanya.
"Kepada rumah-rumah ibadah kita sendiri, khususnya dalam menjalankan kegiataan-kegiatan keagamaan, maka setiap kita dituntut untuk meningkatkan kewaspadaan agar keamanan terhadap pemuka agama, rumah-rumah ibadah itu menjadi tanggung jawab kita bersama," ujar Lukman, Senin (12/2).
Rentetan Peristiwa Penganiayaan Tokoh Agama
Rentetan penganiayaan dan penyerangan bermula hari Sabtu, 27 Januari 2018, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hiadayah Santiong, Kampung Sentiong RT 04/01, Desa Cicalengka Kulon, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. KH Emon Umar Basyri (60) yang akrab disapa Ceng Emon dianiaya.
(Baca juga: Penganiaya Pimpinan Ponpes Santiong KH Emon Ikut Salat Subuh Berjamaah di Masjid)
Penganiayaan tersebut terjadi pada pukul 05.30, di Masjid Al-Hidayah, Pesantren Santiong. Saat itu, Ceng Emon sedang duduk wirid atau berzikir seusai melaksanakan Salat Subuh berjamaah. Suasana di dalam masjid saat penganiayaan terjadi sedang sepi, karena seluruh santri telah kembali ke pondok masing-masing setelah Salat Subuh.
Kapolda Jabar, Irjen Pol Agung Budi Maryoto menerangkan pihaknya tengah melakukan pencarian terhadap keluarga pelaku penganiaya Ceng Emon. "Berdasarkan keterangan dokter kejiwaan pelaku alami gangguan jiwa akut, jadi kami akan mencari keluarga pelaku untuk dimintai keterangan," terang Agung Budi di Cirebon, Senin 29 Januari 2018.
Kemudian pada Kamis, 1 Februari 2018, Komandan Brigade Persatuan Islam (Persis), Ustaz Prawoto tewas setelah dianiaya warga berinisial AM (45). Peristiwa itu terjadi dekat rumah korban di Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung, sekira pukul 07.00 WIB. Pelaku merupakan tetangga korban yang diduga mengalami depresi.
Kapolrestabes Bandung, Kombes Hendro Pandowo menuturkan, kejadian tersebut berawal saat pelaku menggedor rumah korban menggunakan potongan besi. Korban, kata Hendro, menegur pelaku. Namun pelaku tidak terima. Malah mengejar korban dengan potongan besi.
(Baca juga: Fadli Zon Imbau Umat Islam Tak Terprovokasi)
Korban pun lari sejauh 500 meter untuk menghindari pelaku hingga terjatuh di depan warung milik Heni. "Pelaku memukuli korban beberapa kali yang mengakibatkan korban mengalami luka patah tangan kiri dan luka terbuka di kepala," kata Hendro.
Selanjutnya, Anggota Polres Jakarta Barat berhasil menangkap tiga orang remaja di Jalan Syahdan, Palmerah, Jakarta Barat, Minggu 11 Februari 2018. Ketiga pelaku itu ditangkap, karena telah melakukan pengeroyokan kepada Ustadz Abdul Basit di lokasi tersebut.
Kapolres Jakarta Barat, Kombes Hengky Haryadi mengatakan, kejadian pengeroyokan karena para pelaku tidak terima mendapatkan teguran dari korban.
(Baca juga: Kelompok Remaja Tanggung Bacok Seorang Ustadz di Palmerah)
"Setelah tidak terima oleh teguran korban, para pelaku langsung melakukan pengeroyokan sehingga membuat Ustadz Basit mengalami luka. Tangan kirinya terkena bacokan, setelah disabet oleh clurit," ujar Hengky Haryadi kepada wartawan di Mapolres Jakarta Barat.
Dalam kejadian itu, lanjut dia, pihaknya telah mengamankan 11 orang, tiga orang sudah ditetapkan tersangka. Di mana usia yang diamankan rata-rata berusia 15-19 tahun.
Jangan Langsung Dianggap Gila
Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus penyerangan terhadap jemaah Gereja Santa Lidwina. Yaqut menduga ada motif atau agenda setting atas serangkaian aksi teror belakangan ini.
"Kami minta aparat kepolisian usut tuntas kasus ini dan apa motifnya di belakangnya. Jangan asal dibilang pelakunya diduga gila. Masa dari semua kejadian pelakunya gila semua. Aneh," tegas Yaqut, dalam keterangannya yang diterima, Senin (12/2/2018).
Gus Yaqut, sapaan akrabnya, pun tidak yakin pelaku benar-benar gila. Apalagi, kasus teror ini terjadi tidak berselang lama dan menimpa tokoh agama, mulai NU, Persis, Bhiksu di Tangerang, dan sekarang umat Katholik di Sleman.
(Baca juga: Pelaku Penyerangan Gereja Santa Lidwina Jangan Langsung Disebut Diduga Gila)
"Kalau menurut saya, pelaku memang gila, tapi bukan secara psikologis atau fisik, tapi tergila-gila agama. Pelaku gila karena pemahaman agama yang salah," katanya.
Sementara itu terkait penganiayaan terhadap ulama, pakar hukum pidana dari UII Yogyakarta Muzakir meminta polri jangan terburu-buru mengambil sikap atas tes kejiwaan dokter.
"Saya kira menarik pertama itu justru kita mencurigai seoramg yang melakukan benar-benar gila atau tidak, Karena dia subuh ada di mesjid masa kalo ga ada motif kesana kan (aniyaya) tidak mungkin. kalau kasus pertama penyidik hars fair," ujarnya.
(Qur'anul Hidayat)