MATAHARI begitu terik ketika Tim Okezone tiba di perkampungan nelayan di Desa Suka Bangun, Kecamatan Delta Pawan, Ketapang, Kalimantan Barat. Namun, udara panas ini tidak terlalu menyiksa tubuh berkat adanya embusan angin dari sebuah teluk yang menjadi tempat para nelayan menebarkan pukatnya.
Lokasi Desa Suka Bangun tak jauh dari Bandara Rahadi Oesman di Kota Ketapang. Hanya butuh waktu sekira 7 menit menggunakan kendaraan roda empat. Jajaran pohon kelapa yang berdiri di tepi jalan seolah memberi tahu bahwa Tim Okezone telah tiba di kawasan pesisir.
Di sebelah kanan terlihat kapal batu bara sedang bersandar di dermaga kecil dan menunggu truk-truk datang mengangkut muatannya. Di tepi dermaga juga tampak beberapa perahu yang biasa digunakan para nelayan untuk “menjemput rizkinya”.
(Nelayan Farijal bersama putranya tengah memperbaiki perahunya yang rusak. foto: Kowel/Okezone)
Sebagian besar kepala keluarga di Desa Suka Bangun memang berprofesi sebagai nelayan. Mereka pergi setiap pagi menggunakan perahu sederhana, lalu pulang ketika sore dengan membawa hasil tangkapan yang kadang banyak, namun juga kadang tak seberapa.
Uang hasil menjual ikan yang mereka peroleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk urusan dapur, hingga menyekolahkan anak-anaknya.
Hambatan bagi para nelayan untuk menangkap ikan di Desa Suka Bangun yakni apabila perahu atau pukatnya rusak. Itu artinya mereka harus menunda keinginan melaut dan tidak mendapat penghasilan. Hari-hari tak melaut itu mereka gunakan untuk memperbaiki perahu serta membuat pukat demi bisa menjemput rezeki guna istri dan anak-anak di rumah.
Inilah yang dirasakan seorang nelayan bernama Farijal beberapa waktu lalu. Ia terpaksa menunda aktivitasnya di laut untuk memperbaiki perahu yang bocor.
Tiga hari berada di darat bukanlah ciri seorang nelayan jika perahunya baik-baik saja. Tetapi Farijal, pria 46 tahun ini, sudah berada di darat selama tiga hari karena satu-satunya perahu yang bisa digunakan untuk melaut bocor di salah satu sisinya.
Perahu motor berwarna biru dengan panjang sekira 4 meter itu sedang diperbaiki di balik pepohonan. Farijal bersama putra keduanya sedang mengukur papan panjang bekas ke satu sisi perahu saat kami mendekat.
Putranya yang saat ini duduk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK) turut membantu sang ayah. Dibesarkan di kampung penuh nelayan dengan orangtua yang berprofesi sama, remaja ini tidak lepas dari perahu dan aktivitas mencari ikan.
Bahkan saat tiba pada masa pelatihan kerja (magang), Farijal mengajak anaknya magang untuk membantunya melaut. "Kemarin dan hari ini anak ikut magang (melaut) sama saya," ujarnya.
Ia harus buru-buru menyelesaikan masalah perahunya satu hari ke depan jika tak ingin air pasang menghanyutkan perahunya yang bocor. Sebab jika itu terjadi, artinya ia harus mengeluarkan uang lebih banyak.
Sampah dan Cuaca Jadi Kendala
Selain permasalahan internal seperti perahu yang rusak, kendala juga bisa datang dari luar. Contohnya saat cuaca tidak mendukung, mau tak mau Farijal urung melaut demi keselamatan. Ia juga mengungkapkan kondisi air laut yang kotor saat ini mulai cukup menghambat usahanya mencari ikan.
"Kalau sekarang sih agak susah pencarian, karena air kita juga sudah kurang bagus. Kotor, Sungai Pawan ini sudah kotor. Banyak sampah. Orang dari Hulu buang-buang sampah banyak ke laut, jadi ikan pada jauh," ucapnya.
Dalam sekali menebar pukat, ikan yang didapat Farijal hanya satu atau dua ekor. Hasil laut yang didapat biasanya ikan kakap hingga renjong (kepiting). Namun, kata dia, jika hasilnya bagus, harga kakap putih cukup menjanjikan. Guna menjualnya, ia tak perlu pergi jauh, karena ada pembeli khusus yang datang ke Suka Bangun untuk mengambilnya.
Dalam sehari melaut, hasilnya dapat memenuhi kebutuhan dua hingga tiga hari untuk keluarga dengan anggota sedikit. Tetapi, berbeda dengan Farijal yang harus menghidupi istri dan empat anaknya.