Bantuan Tak Tepat Sasaran
Farijal juga mencurahkan isi hatinya tentang bantuan yang tidak pernah diterima. Menurut dia, bantuan yang digelontorkan pemerintah selama ini tak tepat sasaran, karena justru diberikan kepada mereka yang bukan nelayan. Ia sendiri sudah tinggal dan menjadi nelayan di sana sejak bujang.
"Kalau saya sudah beberapa tahun, ndak pernah dapat bantuan. Waduh, ndak usah cerita lah, Pak. Saya sih dari bujang, sampai sudah anak empat," ujar Farijal diikuti tawa pahitnya.
Bantuan berupa pukat dan jaring untuk menangkap ikan juga sangat jarang. Sesekali ia memegang pukat berwarna putih di dalam perahu dan mengatakan bahwa itu adalah pukat buatan istrinya, Tuti Herawati, yang bahannya dibeli dari hasil sedikit demi sedikit keuntungan yang dikumpulkan.
"Masyarakat ini kan orang susah, namanya nelayan ni. Ndak ada nelayan itu kaya. Kebanyakan kalau nelayan pesisir itu susah. Ya dibantulah gimana mestinya, lihat keadaan motornya," ujar Farijal dengan logat Melayu.
Bantuan yang belum merata itu membuat Farijal harus rajin menabung sedikit demi sedikit, tak hanya untuk menghidupi anak dan istrinya, tetapi juga membeli peralatan pendukung untuk melaut. Seperti saat perahunya bocor, mau tidak mau ia harus menambalnya dengan papan bekas. "Ya gimana, namanya keadaan kita susah," ucapnya.
"Bahaya sih bahaya. Risiko pasti ada, tapi namanya menghidupi keluarga," lanjutnya.
Tangan Terampil sang Istri
Walau hanya dari hasil melaut, Farijal dapat menyekolahkan anak-anaknya. Dia ingin anak-anaknya bisa memperoleh hidup yang lebih baik dari dirinya saat ini.
(Istri Fahrijal, nelayan Ketapang yang ikut membantu suami membuatkan jaring. foto: Kowel/Okezone)
"Biar bagaimana kan demi anak-anak untuk maju. Jangan susah seperti kita," ucap Farijal dengan nada bergetar.
Guna menambah penghasilan demi menghidupi anak-anaknya, Farijal dan istrinya juga membuka warung kecil di rumah. Makanan-makanan ringan dan minuman kemasan menjadi dagangannya sehari-hari.
Tuti juga bertugas membuat pukat jika pukat yang dibawa suaminya rusak. Sebab jika membeli atau memberi upah orang untuk membuat pukat, artinya ia harus mengeluarkan biaya lebih banyak.
"Pukat kita bikin sendiri, masang batunya, pelampungnya kita pasang sendiri. Daripada kita upahkan ke orang kan mending untuk jajan anak-anak, bekal sekolah," jelasnya.
Tuti juga menunjukkan cara membuat pukat di dalam rumahnya. Tangannya lincah mengurai jaring dan mengikatkannya pada tali tambang kecil yang ditahan menggunakan kakinya. Pekerjaan sehari-hari ini akan terus ia lakukan untuk membantu suami dan demi anak-anaknya selama tubuh masih kuat. (amr)
(Ulung Tranggana)