INDONESIA tidak memiliki Deep-Ocean Tsunami Detection Buoy sejak 2012, padahal semula memiliki 21 buoy yang dihibahkan Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia.
Ketiadaan alat yang mengapung di laut itu mengharuskan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi tsunami pasca gempa berdasarkan metode pemodelan. Artinya, perkiraan tsunami itu dihitung dalam perangkat lunak, berdasarkan pusat kedalaman dan magnitudo gempa.
Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, mengatakan, metode penghitungan potensi tsunami yang kini diterapkan BMKG tak selalu presisi. "Dulu skenarionya, data buoy mendukung BMKG. Kalau data itu ada, maka level peringatan tsunami kami akan semakin tegas," kata Rahmat.
Dengan garis pantai nomor dua terpanjang di dunia yakni 99.093 km, berdasar data Badan Informasi Geospasial, seberapa penting peranan buoy di Indonesia?
Lalu bagaimana peringatan dini tsunami diputuskan? Sebelum membahas peran buoy, BMKG telah mengidentifikasi 18.000 skenario tsunami yang bisa terjadi kapan saja.
Ketika terjadi gempa, Stasiun Geofisika merekam getaran bumi, 170 sensor yang terpasang di daratan, mengirimkan datanya ke Pusat Gempa Nasional di Jakarta, untuk mengetahui kekuatan dan pusat gempa.
Pada waktu yang sama, tujuh stasiun sistem pemosisian global (GPS) di pesisir Sumatera bagian barat, dan Jawa bagian selatan, mengukur data pergeseran permukaan bumi yang disebabkan gempa. Dengan bantuan satelit navigasi, data itu terkirim dengan akurat.
Data yang sudah terekam akan dielaborasi dengan pembanding skenario yang dihitung sebelumnya, dari sini peringatan dini tsunami bisa diputuskan dalam hitungan detik.
Bagaimana cara kerja buoy?
Di dasar laut, terdapat alat pengukur tekanan gelombang laut yang dapat mendeteksi secara cepat dan langsung dilaporkan ke buoy yang berada di atas permukaan laut. Tinggi gelombang yang akan terhempas menuju pesisir secara akurat dapat dilaporkan buoy.
Data aktual itu diterima satelit, alarm peringatan dini sudah bisa diaktifkan.
"Sebelum masuk ke daratan, buoy mencatat dan mengirim data kepada kami (BMKG), lalu kami bisa putuskan dan mempertegas sistem peringatan dini." Kata Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono.
Dengan demikian menurut Rahmat Triyono, buoy dapat mengetahui langsung secara aktual data di lapangan.
Namun buoy kini tinggal cerita. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut Indonesia tidak lagi memiliki buoy untuk mendeteksi tsunami sejak 2012 silam.
"Sejak 2012 nggak ada yang beroperasi, padahal dibutuhkan untuk peringatan dini," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho.
Mengapa buoy lenyap?
Pada awalnya Indonesia memiliki 22 unit buoy, namun menurut Sutopo Purwo Nugroho, semua buoy sudah tidak ada yang beroperasi.
Tidak adanya biaya pemeliharaan dan operasi menyebabkan buoy tidak berfungsi sejak 2012. Tidak hanya rusak namun juga hilang.
BMKG mencatat, pada 2011 lalu, tujuh unit buoy di perairan Banyuwangi tidak sengaja rusak oleh nelayan, Sementara di Papua, dari 18 alat sensor gempa dan tsunami termasuk buoy, hanya menyisakan 8 unit yang masih berfungsi.