Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

7 Tahun Perang Saudara di Suriah, Penggunaan Senjata Kimia Telah Menyebar

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Sabtu, 27 Oktober 2018 |12:31 WIB
7 Tahun Perang Saudara di Suriah, Penggunaan Senjata Kimia Telah Menyebar
Bocah terkena serangan senjata kimia (Foto: BBC)
A
A
A

"Gas membuat orang sesak - menyebarkan kepanikan dan teror," katanya. "Pesawat perang dan helikopter terbang di angkasa setiap waktu, selain penembakan artileri. Tetapi yang paling banyak berpengaruh adalah senjata kimia."

Ketika klor cair dilepaskan, dengan cepat menjadi gas. Gas lebih berat dari pada udara dan akan turun ke daerah yang lebih rendah. Orang yang bersembunyi di ruang bawah tanah atau tempat perlindungan bom di bawah tanah sangat rentan terkena paparannya.

Ketika gas klor menyentuh jaringan lembab seperti mata, leher dan paru-paru, asam yang muncul dapat merusak jaringan tersebut. Jika dihirup, klor menyebabkan adanya ruang udara di paru-paru untuk mengeluarkan cairan, yang pada dasarnya membuat orang 'tenggelam'.

"Jika mereka ke atas, mereka terkena bom dari roket. Jika mereka ke bawah, mereka meninggal karena klor. Orang menjadi histeris," kata Abu Jaafar.

Pemerintah Suriah menyatakan pihaknya tidak pernah menggunakan chlorine sebagai senjata. Tetapi dari keseluruhan 11 serangan di Aleppo berasal dari udara dan terjadi di daerah kekuasaan oposisi, menurut data BBC.

Lebih dari 120.000 warga sipil meninggalkan Aleppo pada minggu-minggu terakhir perang kota itu, menurut organisasi yang beroperasi di lapangan. Ini adalah titik balik perang saudara.

Pola yang sama laporan penggunaan senjata kimia dapat dilihat pada data dari Ghouta bagian Timur - daerah kekuasaan oposisi di dekat Damaskus.

Sejumlah laporan muncul di kota-kota yang dikuasai oposisi di daerah itu dari bulan Januari sampai April 2018.

Peta memperlihatkan bagaimana peristiwa terjadi bersamaan dengan hilangnya wilayah oposisi.

Image caption Laporan serangan kimia di Ghouta bagian Timur pada tahun 2018 bersamaan waktunya dengan serangan pemerintah.

Douma, kota terbesar di Ghouta bagian Timur, adalah sasaran empat serangan kimia yang dilaporkan selama empat bulan, sementara pasukan pendukung pemerintah meningkatkan pemboman udara sebelum melakukan serangan darat.

Yang terakhir - dan yang paling mematikan, menurut para petugas kesehatan dan penyelamat - serangan pada tanggal 7 April ketika tabung gas industrial kuning dilaporkan dijatuhkan ke balkon rumah susun. Pihak oposisi menyerahkan diri satu hari kemudian.

Video yang dikeluarkan pegiat pendukung oposisi memperlihatkan apa yang mereka katakan sebagai jenazah lebih 30 anak-anak, perempuan dan laki-laki yang berlindung di bawah tanah kompleks rusun.

Yasser al-Domani, seorang pegiat yang mendatangi tempat itu pada malam harinya, mengatakan korban meninggal dengan busa di sekitar mulut mereka dan sepertinya menderita luka bakar kimia.

Video lainnya dari gedung di dekatnya memperlihatkan jenazah anak-anak yang sama, yang ditemukan meninggal di rusun, mengenakan pakaian yang sama, dengan luka bakar yang sama, dijejerkan untuk diidentifikasi.

BBC berbicara dengan 18 orang, semuanya menegaskan mereka melihat jenazah dibawa dari rusun ke rumah sakit.

Dua hari setelah laporan serangan itu, ahli militer Rusai mendatangi flat dan mengatakan mereka tidak menemukan jejak klor atau unsur kimia lainnya. Pemerintah Rusia menyatakan kejadian itu dibuat-buat pihak oposisi dengan bantuan Inggris - tuduhan itu telah disangkal pemerintah Inggris dengan menyatakannya sebagai "tidak masuk akal".

Tim Misi Pencari Fakta OPCW mengunjungi tempat itu hampir dua minggu kemudian dan mengambil sampel dari tabung gas di balkon. Pada bulan Juli dilaporkan "sejumlah bahan kimia organik klor" ditemukan pada sampel, disamping sisa bahan peledak.

Hak atas foto AFP

Image caption Sebuah roket dilaporkan ditembakkan pasukan pemerintah ke kota Douma yang saat itu dikuasai pemberontak pada bulan Januari.

FFM masih bekerja untuk mengetahui arti penting hasil, tetapi pihak Barat meyakini penduduk meninggal karena terpapar chlorine.

Seminggu setelah kejadian di Douma, AS, Inggris dan Perancis melakukan serangan udara di tiga tempat yang mereka pandang "secara khusus terkait dengan program senjata kimia rezim Suriah".

Serangan Barat terjadi beberapa jam sebelum militer Suriah menyatakan Ghouta bagian Timur bebas dari pejuang oposisi, ketika sekitar 140.000 orang mengungsi dari rumah mereka dan sampai sekitar 50.000 diungsikan dari daerah kekuasaan oposisi di bagian utara negara itu.

"Saya menyaksikan kerusakan, penduduk menangis, mengucapkan selamat tinggal kepada rumah atau anak mereka. Wajah penduduk terlihat sedih dan lelah. Sangat menyakitkan. Saya tidak bisa melupakannya. Orang akhirnya mengatakan mereka sudah tidak tahan lagi," kata Manual Jaradeh, yang tinggal di Douma dengan suami dan anak laki-lakinya.

Pemerintah Suriah tidak mau menjawab pertanyaan BBC terkait dengan tuduhan bahwa pihaknya menggunakan senjata kimia. Mereka menolak memberikan izin kepada tim Panaroma untuk mengunjungi Damaskus, memeriksa tempat serangan yang dilaporkan di Douma, dan menolak permohonan wawancara.

Ketika ditanyakan apakah masyarakat dunia gagal membantu penduduk Suriah, mantan pemeriksa OPCW, Julian Tangaere mengatakan: "Ya, memang benar.

"Ini terkait dengan perjuangan hidup dan mati rezim Assad. Anda tahu, sudah jelas tidak mungkin (bagi Assad) untuk melangkah mundir. Saya bisa memahaminya.

"Tetapi metode yang dipakai dan kebarbaran dari apa yang terjadi...yah, tidak bisa dipahami. Ini mengerikan."

Jadi apakah Presiden Assad telah berhasil cuci tangan? Duta besar Inggris untuk PBB, Karen Pierce, menolak pandangan itu.

"Bukti sedang dikumpulkan," katanya. "Suatu hari nanti keadilan akan ditegakkan. Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menciptakannya dan mempercepat (hal itu terjadi)."

(Mufrod)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement