Dugaan lain terkait pengelolaan sampah yang buruk itu bisa dilihat dengan cairan Lindi yang keluar dari tumpukan sampah TPA Cipeucang. Najib dan aktivis lingkungan berasumsi, jika cairan dari gunung sampah yang ada di Cipeucang mengalir langsung ke aliran sungai Cisadane yang berada tepat di bagian sisinya.
Bahkan para aktivis lingkungan, kata dia, sempat beberapa kali mendokumentasikan foto dan video yang membuktikan sampah Cipeucang bersentuhan langsung dengan Sungai Cisadane. Tanpa ada sistem penyaringan lebih dulu.
Tanpa parit yang mengalirkan cairan Lindi ke sistem pengelolaan, maka otomatis cairan itu akan merembes dan turun ke aliran sungai Cisadane. Padahal, sungai Cisadane adalah penyuplai air utama untuk wilayah Tangerang Raya.
"Kalau berdasarkan wawasan kita dari melihat TPA di wilayah lain, kemungkinan pengelolaan lindi yang kurang, tidak sesuai prosedur, mungkin ya seperti itu. Apalagi yany sangat dikhawatirkan cairan itu mengalir ke Cisadane," papar Najib.
Baca Juga: Wali Kota Airin "Disentil" Aktivis soal Pencemaran Cisadane oleh TPA Cipeucang Tangsel

Sebelumnya, sejumlah aktivis lingkungan dari Yayasan Peduli Lingkungan Hidup (Yapelh) Indonesia, Pendaki Indonesia (PI) Tangerang, Pendaki Gunung indonesia, dan Cisadane Ranger Patrol (CRP) menggelar kemah di seberang gunung sampah TPA Cipeucang.
Mereka memprotes pengelolaan TPA Cipeucang yang mencemari sungai Cisadane. Dalam aksinya itu, para aktivis berkeliling aliran sungai di sekitar Cipeucang sambil merekam dengan video. Dari sana terbukti, jika sumber sampah ternyata memang berasal dari TPA Cipeucang.
"Kami sudah sejak lama mengingatkan Pemkot Tangsel dan dinasnya, agar jangan sampai pengelolaan TPA Cipeucang yang buruk itu pada puncaknya akan mengulang tragedi TPA Leuwigajah, jangan sampai. Tapi kita lihat, belum ada upaya apapun. Apalagi bisa kita lihat sendiri, dampak yang sekarang terasa itu sungai Cisadane sudah tercemar sampah, belum lagi cairan Lindinya," ungkap Herman Felani, Koordinator Yapelh kepada Okezone dikonfirmasi terpisah.
Sebagai gambaran, sesuai UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka Kementerian Lingkungan Hidup telah merumuskan strategi dan kebijakan dalam pengelolaan sampah yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, terutama pelibatan Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat.
Pada Pasal 44 UU No. 18 Tahun 2008 berbunyi "Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama satu tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini,"
Kemudian pada Pasal 45 UU yang sama dijelaskan, "Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka (Open Dumping) paling lama lima tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini,".
Keterlibatan Pemerintah Pusat dan Daerah ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah (Jakstranas) dan Peraturan Presiden nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.
Setelah lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka Pemda harus mengganti TPA pembuangan terbuka (Open Dumping) menjadi TPA dengan sistem timbun (Sanitary Landfill). Meski begitu, masih ada Pemda yang menyatakan hal ini sulit dilakukan lantaran biaya pengelolaan Sanitary Landfill membutuhkan biaya sangat besar.
(Edi Hidayat)