 
                APABILA putusan Mahkamah Konstitusi dianggap setara kedudukannya dengan undang-undang sebagaimana yang dipahami selama ini, maka pemaknaan tentang alat bukti dalam persidangan di pengadilan yang berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yaitu persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan persidangan tertutup di MA mestinya juga sama dengan pemaknaan tentang alat bukti dalam persidangan di MK.
Sebab ketika pemaknaan alat bukti di sidang pengadilan melenceng dari obyektivitas pembuktian maka akan berpengaruh pada pertimbangan hakim serta vonis yang dijatuhkan. Karena dalam hal demikian alat bukti bisa diperlemah maknanya bahkan ditiadakan dalam pertimbangan hakim sehingga dapat merugikan pencari keadilan
Namun demikian, karena jenis dan cara pembuktian alat bukti dalam persidangan berbeda antara satu peradilan dan peradilan lainnya maka cakupan alat bukti pun berbeda-beda tergantung di dalam peradilan yang mana alat-alat bukti itu digunakan.
Misalnya, dalam peradilan perdata, alat bukti yang diakui sah adalah (a) bukti surat, (b) bukti saksi, (c) persangkaan-persangkaan, (d) pengakuan, (e) sumpah; sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg dan Pasal 1866 Van Bewijs en Verjaring.

Sedangkan dalam peradilan pidana, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, dan (e) keterangan terdakwa.
Bukti surat atau bukti tertulis di dalam peradilan perdata tidaklah sama pemaknaannya dengan bukti serupa di dalam peradilan pidana. Sebab dalam Pasal 1867 Van Bewijs en Verjaring dikatakan: Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.
Sedangkan dalam Pasal 1874 dikatakan: Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Bagian terakhir inilah yang membuka ruang bagi penggunaan literatur atau materi publikasi ilmiah seperti buku dan publikasi via media massa yang dapat disamakan pemaknaannya dengan tulisan-tulisan yang digunakan sebagai alat bukti di dalam peradilan pidana.
Dalam peradilan Tata Usaha Negara, alat-alat bukti adalah (a) surat atau tulisan, (b) keterangan ahli, (c) keterangan saksi, (d) pengakuan para pihak, (e) pengetahuan hakim; sesuai ketentuan dalam Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986.