Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kejujuran dalam Memaknai Alat Bukti Persidangan

Kejujuran dalam Memaknai Alat Bukti Persidangan
Sidang gugatan hasil Pilpres 2019 di MK (dok. Okezone)
A
A
A

Menurut Poin ke-2 dari Pasal 36 UU No. 24 Tahun 2003 tersebut, “Alat bukti harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.” Artinya, yang dipertanggung-jawabkan adalah cara dan proses memperoleh alat bukti tersebut.

Jika demikian maka apabila yang dijadikan alat bukti adalah keterangan ahli, maka yang perlu dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum adalah cara dan proses memperoleh keterangan ahli dimaksud. Caranya bisa melalui wawancara yang direkam, presentasi (jawaban, penjelasan, keterangan, pernyataan) yang bersumber dari ahli, yang direkam, atau pun dibukukan sesuai aslinya dan menggunakan nama ahlinya sebagai penulis atau pemberi anotasi.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan sejalan dengan pemahaman sesuai ketentuan-ketentuan hukum di atas maka semestinya buku MENYIBAK KEBENARAN: Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman layak dijadikan alat bukti karena tiga alasan: Pertama, buku itu berisi anotasi dari para guru besar hukum dan praktisi hukum yang menyoroti ketidakadilan dalam penanganan perkara Irman Gusman dan keahlian mereka tidak diragukan sedikitpun sehingga anotasi yang diberikan oleh 15 pakar dan guru besar hukum itu dapat dikategorikan sebagai keterangan ahli (memenuhi unsur Poin 1c Pasal 36 UU MK tentang keterangan ahli sebagai alat bukti).

Kedua, anotasi dari para pakar dan guru besar hukum itu dirangkum dalam buku sebagai hasil dari proses eksaminasi terhadap putusan perkara Irman Gusman yang mereka nilai tidak adil bahkan putusannya dinilai bermasalah karena penanganan gratifikasi yang didakwakan dinilai menyalahi aturan hukum dan pasal yang digunakan dalam putusan pengadilan pun dinilai tidak tepat. Karena rangkuman itu berbentuk buku maka memenuhi unsur Poin 1a, yaitu surat atau tulisan sebagai alat bukti.

Sidang gugatan Pilpres di MK

Ketiga, karena penulisan buku tersebut bersumber dari rekaman wawancara dalam bentuk video yang disimpan secara elektronik maka memenuhi unsur Poin 1f bahwa alat bukti termasuk “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.” Maka jelas bahwa buku tersebut memenuhi tiga unsur pembuktian sekaligus dalam Pasal 36 UU No. 24 Tahun 2003 dimaksud.

Dalam persidangan Peninjauan Kembali kasus Irman Gusman di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun lalu, buku MENYIBAK KEBENARAN itu oleh pemohon PK dibagikan ke semua pihak termasuk kepada Majelis Hakim, meskipun jaksa KPK terkesan menginginkan agar buku itu tidak dijadikan sebagai alat bukti dalam proses PK dimaksud. Pendapat jaksa KPK itu terkesan diamini oleh Majelis Hakim yang tampaknya kurang teliti dalam memaknai alat bukti karena mempersempit maknanya sehingga terlepas dari Pasal 36 UU No.24 Tahun 2003 itu.

Sebagai bahan pembelajaran maka andaikan saja Majelis Hakim mempertimbangkan Pasal 36 UU No.24 Tahun 2003 itu sebagai referensi tambahan dalam persidangan PK Irman Gusman maka tentulah pendapat ilmah dari belasan ahli dan guru besar hukum itu pun sudah diterima sebagai masukan yang bernilai ilmiah tinggi untuk melengkapi alat bukti dari pemohon PK sekaligus sebagai pembelajaran cara berhukum yang benar, jujur, dan bermartabat. [*]

Dr. Suparji Ahmad, SH, MH

Dosen Tetap, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, adalah juga Ketua Bidang Hukum & HAM Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).

(Angkasa Yudhistira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement