Jika kita merujuk pada Pasal 36 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maka jelas bahwa yang dimaksud dengan alat bukti adalah (a) surat atau tulisan, (b) keterangan saksi, (c) keterangan ahli, (d) keterangan para pihak, (e) petunjuk, dan (f) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Sejalan dengan pemaknaan tentang alat bukti dalam peradilan Tata Usaha Negara, yaitu bahwa surat atau tulisan serta keterangan ahli dapat dijadikan alat bukti, maka pemaknaan alat bukti dalam UU MK juga termasuk surat atau tulisan dan keterangan ahli bahkan bukti rekaman secara elektronik.
Di Pasal 36 Undang-Undang MK itu sangat jelas terlihat bahwa Poin 1 Butir (a) memberikan petunjuk bahwa tulisan yang diterbitkan di dalam buku, media massa, atau media lainnya dapat dijadikan alat bukti karena yang diterbitkan adalah tulisan.
Poin 1 Butir (c) menunjukkan bahwa keterangan yang diberikan oleh ahli di bidang tertentu, termasuk di bidang hukum, misalnya pendapat atau keterangan para guru besar hukum dapat dijadikan alat bukti karena mereka adalah ahli.
Poin 1 Butir (f) menunjukkan bahwa ucapan yang direkam atau disimpan secara elektronik misalnya rekaman video, apalagi yang berisi keterangan atau pendapat para guru besar ataupun praktisi hukum pun dapat dijadikan alat bukti.

Sampai di situ berarti bahwa apabila para guru besar hukum dan praktisi hukum memberikan pendapatnya sebagai ahli dalam suatu kasus yang disidangkan atau kasus yang sudah diputuskan perkaranya, maka pendapat mereka patut dijadikan alat bukti. Terlebih lagi jika keterangan atau pendapat para guru besar atau pakar hukum itu dibukukan sebagai rangkuman atau kompilasi dari proses eksaminasi tentang putusan pengadilan terhadap suatu perkara.
Persoalannya adalah selama ini pemaknaan alat bukti seperti ini tidak dihiraukan. Meskipun dalam persidangan di MK surat atau tulisan, keterangan ahli, serta informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik diakui keabsahannya sebagai alat bukti, namun demikian, pengalaman membuktikan bahwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri alat bukti seperti itu sering tidak diakui atau tidak dianggap penting sehingga dengan mudah diabaikan oleh hakim tanpa memberikan penjelasan apa dasar hukumnya sehingga ia menolak alat bukti.
Sementara itu, istilah “keterangan ahli” tentu menunjuk pada ahli yang berada di dalam persidangan maupun di luar persidangan, sebab seorang ahli tetap saja ahli entah dia berada di dalam persidangan ataupun di luar persidangan. Seseorang menjadi ahli di sidang pengadilan bukan karena pengadilan yang membuat dia menjadi ahli, tetapi karena dia memang adalah ahli maka keahliannya diakui dan dibutuhkan di pengadilan.
Contoh, sorang pakar atau guru besar hukum yang memberikan keterangan di dalam persidangan, keterangannya dianggap sebagai pendapat ahli. Ketika ia memberikan keterangan di luar forum persidangan, di luar pengadilan, maka tetap saja pendapatnya diterima sebagai pendapat seorang ahli hukum.
Sebab tempat dimana dia memberikan keterangan atau pendapat hukumnya tidak menentukan keabsahan keahliannya. Karena dimana pun dia berada dia tetap saja seorang ahli. Kalau demikian maka ketika dia menulis pendapat hukumnya di media massa atau menulis anotasi di dalam sebuah buku terhadap putusan suatu perkara, maka anotasinya itu patut diterima sebagai pendapat ahli dan dapat dijadikan alat bukti di dalam persidangan.
Maka menjadi sangat keliru apabila keterangan ahli--termasuk para ahli hukum, guru besar hukum, dan praktisi hukum--yang dibukukan sebagai hasil dari suatu proses eksaminasi terhadap putusan perkara dianggap tidak memiliki validitas sebagai alat bukti yang sah di dalam persidangan.