Sudah Hampir seperti 2015
Warga yang memiliki dana seperti Yudistira Tribudiman bisa memilih membawa keluarganya ke Jakarta pada Jumat 13 September. Ia mengaku penyakit sinusnya sempat kambuh ketika kabut asap mulai menyelimuti pada Juli lalu.
"Awal Juli itu saya enggak begitu sadar ada asap. Mungkin ada, tapi enggak begitu sadar, tapi orang lain yang hidungnya lebih peka bisa langsung cium," tutur Yudi saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Di samping sinus, secara umum setiap kali menghirup asap terlalu lama, ia merasa tubuhnya tidak keruan. "Bisa pusing, bisa sesak, kayak ngos-ngosan, kayak engap gitu," jelasnya.
Baca juga: Penggunaan Kalsium Oksida, Strategi Baru Teknologi Modifikasi Cuaca Atasi Asap Karhutla
Yudi belum tahu kapan akan kembali ke Palangkaraya. Namun yang jelas, pria yang sehari-hari bekerja sebagai penyunting gambar ini mengatakan bakal menetap sementara di Jakarta sampai kabut asap mereda, atau hingga harus kembali karena ada tuntutan pekerjaan.
"Kalau ada orderan untuk syuting ya saya harus balik lagi, jadi ya nyempatin saja dulu, istirahat dulu lah dari asap itu," ungkapnya.
Warga lain yang tinggal di Palangkaraya dan mengajak keluarganya mengungsi adalah Mustafa, yang sehari-hari bekerja sebagai seorang wiraswasta.
"Kalau saya ada kewajiban pekerjaan, tapi mungkin dia (istri) bawa anak-anak ke Jakarta dalam waktu dekat," kisahnya.
Baca juga: Tinjau Lokasi Karhutla, Jokowi: Pencegahan Itu Paling Efektif!
Menurut pengamatannya yang sudah berulang kali mengalami kabut asap sejak pindah ke Pulau Kalimantan pada 1998, kondisi tahun ini mirip dengan 2015.
"Ini cukup buruk ya. Ini sudah hampir kayak 2015."
Mustafa mengaku tidak bisa berbuat banyak menghadapi halauan asap di sana-sini. Ia mengatakan, "Kita terpaksa menghirup udara yang ada. Masak beli tabung oksigen? Mahal banget."