SEPERTI halnya masyarakat Tionghoa lainnya, warga keturunan Tionghoa di Banda Aceh juga merayakan Tahun Baru Imlek. Hal yang menimbulkan pertanyaan dari mereka yang berada di luar Aceh adalah bagaimana perayaan Imlek dirayakan di provinsi yang menerapkan hukum syariat Islam.
Kusmeity, yang tinggal di Banda Aceh, mengatakan sering mendapat pertanyaan dari rekan yang tinggal di luar provinsi itu.
"Teman-teman bertanya apakah di Banda Aceh saya baik-baik saja. Mereka tanya apakah saya diwajibkan pakai jilbab. Saya bilang biasa-biasa saja. Cuma kan orang bisa punya persepsi lain. Mereka kira saya harus pakai jilbab juga," kata Kusmeity, mengutip dari BBC News Indonesia, Minggu (26/1/2020).
"Mereka juga sempat takut datang ke Aceh. Pernah itu, ada sebagian kawan yang khawatir. Mereka pikir Aceh gimana gitu. Tapi begitu datang, lihat sendiri situasinya, ya tak masalah. Mereka bisa melihat sendiri bahwa situasinya tak seseram yang mereka kira," kata Kusmeity.
Peraturan tentang pidana Islam mulai dikeluarkan di Aceh pada awal tahun 2000-an, namun sebagian besar bersifat simbolis. Peraturan berbasis hukum Islam mulai diterapkan pada Oktober 2015.
Kusmeity menuturkan, Tahun Baru Imlek biasanya dirayakan antara lain dengan makan bersama pada malam tahun baru dan dilanjutkan dengan bersembahyang ke wihara.
Ada juga yang merayakannya dengan beribadah ke gereja bagi warga Tionghoa yang memeluk Kristen, seperti yang dilakukan Kusmeity. Setelah itu dilanjutkan dengan kunjungan ke rumah saudara.
Follow Berita Okezone di Google News
Ada yang Tidak Lagi Merayakan Imlek
Tapi, ada juga yang tidak merayakan Tahun Baru Imlek lagi, seperti dituturkan warga Tionghoa bernama Teugku Rasyid. Ia mengatakan demi menjaga akidah, ia secara sadar tidak merayakan Tahun Baru Imlek.
"Kalau saya ke wihara, nanti orang mengatakan saya kembali ke agama saya yang dulu. Saya tak mau meninggalkan Islam apa pun keadaannya. Tak ada orang lain yang bisa memengaruhi saya untuk kembali ke agama saya yang dulu," kata Teungku Rasyid.
Pemilik bengkel ini mengatakan di luar urusan merayakan Tahun Baru Imlek, hubungan sosial dengan komunitas Tionghoa dan komunitas-komunitas lain berjalan baik.
"Saya berhubungan baik dengan semua kalangan. Tapi kalau misalnya ada acara gotong royong di kelenteng atau gereja, saya tak mungkin hadir. Saya tak mau orang mengira saya kembali ke agama saya semula," ujar Teungku Rasyid.
"Di luar itu tidak masalah. Ada orang meninggal, saya hadir, saya hormati. Tak masalah. Ada yang terkena musibah, saya bantu," ungkapnya.
"Karena itu, ada yang menganggap saya ini seorang pengkhianat," kata Teungku Rasyid yang memimpin perkumpulan mualaf Aceh yang beranggotakan sekira 200 orang.
Bisnis Tak Terganggu Penerapan Syariat Islam
Para ahli sejarah mengatakan etnis Tionghoa masuk ke Banda Aceh sejak abad 17. Awalnya mereka berdagang secara musiman, namun lambat laut menetap. Banyak dari warga Tionghoa yang saat ini berada di Banda Aceh, lahir dan besar di kota ini.
Penulis buku "Etnis China di Aceh" dan pengajar di Universitas Islam Arraniry Banda Aceh, Abdul Rani Usman, mengatakan relatif tidak ada masalah dalam relasi sosial antara warga Tionghoa dan komunitas lain di Aceh.
"Relasi soal antara Aceh dan etnis Tionghoa sudah berlangsung selama ratusan tahun. Selama kurun waktu ini relatif tidak ada persoalan yang signifikan karena keduanya memegang prinsip saling menghormati dan saling menghargai akar budaya masing-masing," kata Abdul Rani Usman.
Rani mengatakan tidak ada dampak negatif penarapan hukum pidana Islam terhadap komunitas Tionghoa di Aceh.
"Komunitas Tionghoa tetap bisa menjalankan kehidupan sehari-hari secara normal. Bisnis mereka tidak terganggu, pendidikan mereka tidak terganggu, ibadah mereka tidak terganggu," katanya.
Corak Islam yang kental di Aceh sedikit banyak berpengaruh terhadap perayaan Tahun baru Imlek.
Kho Khie Siong, salah satu pemuka masyarakat Tionghoa di Banda Aceh, menceritakan pemain barongsai –atraksi yang sering dimainkan untuk merayakan Tahun baru Imlek– tidak hanya berasal dari warga Tionghoa, tapi juga dari komunitas Muslim.
"Kami punya tim barongsai yang melakukan road show, berkeliling kota berkunjung ke rumah-rumah warga Tionghoa di Banda Aceh. Pemain barongsai kami tidak hanya berasal dari komunitas Tionghoa, tapi juga dari komunitas Muslim," katanya.
Bagaimana Pertahankan Tradisi?
Kho Khie Siong mengatakan barongsai tidak sekadar ekspresi kebudayaan. Atraksi ini sudah diperlombakan di Pekan Olahraga Nasional (PON) yang membuka kemungkinan warga non-Tionghoa untuk menjadi pemain atau atlet barongsai.
"Kami merekrut pemain atau atlet dari segala suku," katanya, "Siapa pun yang ingin menjadi pemain atau atlet (barongsai) kami rangkul."
Selain itu, kata Kho Khie Siong, perayaan Imlek juga menampilkan kebudayaan khas Aceh yakni Tari Seudati.
"Jadi di bagian awal atraksi barongsai, kami tampilkan Tari Seudati. Kami buat ini menjadi seni baru yang melibatkan dua budaya yang berbeda," kata Kho Khie Siong.
Ketua satu yayasan sosial di Banda Aceh ini menjelaskan atraksi barongsai adalah salah satu cara untuk mempertahankan tradisi.
Bagi warga Tionghoa di Banda Aceh seperti Kusmeity, mempertahankan tradisi antara lain dilakukan dengan mengajak anak-anak untuk berkunjung ke rumah-rumah saudara, meski kadang ada perasaan kurang enak.
"Kita bawa anak-anak ke rumah saudara, kan diberi angpao, nah kita merasa tak enak. Takut ada anggapan, kami berkunjung demi angpao. Tapi di sisi lain, demi menjaga tradisi, kami harus berkunjung ke rumah saudara," paparnya.
"Jadi, ya kadang merasa tak enak, tapi ya kami harus tetap melaksanakannya," kata Kusmeity.
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.