Setelah Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, pemerintah dihadapkan pada berbagai pemberontakan bersenjata seperti DI/TII pada periode 1949-1962. Pemberontakan bersenjata untuk mendirikan negara Islam pada saat itu dilakukan untuk mendirikan Darul Islam dipimpin oleh Sekarmaji Kartosuwiryo yang akhirnya dapat ditumpas pemerintah dengan kekuatan bersenjata pula.
Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, gerakan radikalisme dan terorisme tidak dapat berkembang dengan baik meski masih survive. Rezim Soeharto yang memerintah secara semi otoriter melakukan kontrol yang ketat untuk menekan munculnya gerakan tersebut antara lain dengan menggunakan intelijen yang kuat dan undang-undang subversif.
Dengan kontrol ketat, elemen- elemen gerakan Islam radikal tidak menampakkan aktivitas dan tidak dapat menunjukkan eksistensinya secara terbuka, sehingga bermetamorfosis menjadi gerakan rahasia atau tertutup sebagai Negara Islam Indonesia (NII). Tekanan yang kuat membuat beberapa tokoh gerakan Islam radikal lari ke luar negeri, antara lain Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar ke Malaysia.
Meskipun demikian, selama periode tersebut, kelompok Islam radikal berhasil melakukan aksi kekerasan sebagaimana terjadi dalam peristiwa pemboman Candi Borobudur pada 21 Januari 1985, dan pembajakan pesawat Garuda “Woyla” rute Jakarta- Medan pada tanggal 28 Maret 1981.
Jaringan Islamis radikal di Indonesia tidak hanya menyerang sasaran sipil dengan motif ideologi jihad. Dalam beberapa insiden mereka menyerang sasaran aparat keamanan, termasuk militer kombatan. Mereka juga memiliki tujuan politik yang jelas yaitu ingin mengambil alih kekuasaan dan merubah negara Indonesia yang dipandang sekuler, menjadi suatu negara Islam yang didasarkan pada syariat Islam versi mereka.
Perkembangan radikalisme Islam dipicu oleh terjadinya perang di Afganistan di mana para pejuang Mujahidin yang didukung oleh Amerika dan sekutunya bertempur melawan tentara Uni Soviet. Isu yang dimunculkan dalam perang tersebut adalah penjajahan Soviet yang direpresentasikan sebagai kelompok komunis terhadap Afganistan yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Istilah radikalisme ialah identik dengan ekstremisme politik, baik kiri ataupun kanan. Komunisme di ujung posisi kiri, fasisme di kanan. Meski istilah radikalisme lebih lazim untuk menyebut kelompok kiri, ungkapan ‘kanan radikal’ juga mulai dikenakan dengan asosiasi tertuju pada gerakan keagamaan dan fasisme di masa perang.