DALAM kurun waktu 6 tahun lebih khususnya sejak Pilpres 2014, bangsa Indonesia memasuki era penajaman perbedaan pandangan dan pilihan politik yang disebabkan oleh pola kampanye atau propaganda yang sangat kuat bersandar pada pembentukan opini publik tentang berbagai isu nasional.
Dinamika penajaman perbedaan tersebut diperkuat oleh dampak penggunaan media sosial, media online, dan berbagai metode propaganda yang juga sedikit banyak mempengaruhi media mainstream.
Dalam periode kampanye pilpres 2014 kita mengenal berkembangnya diskursus atau wacana-wacana yang merupakan upaya labellingatau pemberian julukan seperti istilah pasukan nasi bungkus (panasbung), kemudian kita juga mencermati lahirnya media konvesional penyebar hoax seperti Obor Rakyat.
Pasca pilpres 2014, dinamika pemberian julukan semakin bervariasi misalnya kita mengenal istilah cebong, cebongers, togog, BuzzerRp bagi mereka yang mendukung Jokowi, sedangkan kubu pendukung Prabowo dilabelkan sebagai kampret, sobat gurun, dan kadal gurun (kadrun).
Untuk isi kampanye hitam atau abu-abu yang berkembang sungguh luar biasa dan sangat banyak variasinya, intinya adalah ungkapan-ungkapan negatif dan sangat negatiftentang masing-masing pihak yang memicu sentimen yang kuat dalam di hati masyarakat Indonesia, bahkan kebohongan pun dapat mempengaruhi cara pandang antara kelompok yang bersaing. Dinamika tersebut kembali berulang pada pilkada DKI Jakarta 2017 dan kemudian juga dalam pilpres 2019.
Artikel ini tidak akan membahas detil wacana saling menghina, saling memusuhi, dan dinamika pro-kontra dalam upaya penegakan hukumnya. Pembahasan substansi wacana memerlukan analisa terhadap fakta-fata dari rangkaian data yang sangat banyak dalam periode waktu yang cukup panjang serta interpretasinya.
Selain itu, perbedaan interpretasi juga dapat memicu perdebatan baru yang justru akan semakin mempertajam permusuhan karena masuknya elemen emosi ketika kita memperdebatkan masalah yang di dalamnya telah mengandung perbedaan atau bahkan sikap bermusuhan.