SEMARANG – Banjir parah yang mengepung Kota Semarang, Jawa Tengah pada Sabtu 6 Februari 2021 disebabkan sejumlah faktor. Banjir kali ini merupakan banjir terbesar setelah 10 tahun terakhir dan menggenangi Ibu Kota Jawa Tengah lebih luas dari sebelumnya.
Sisi lain, besarnya bencana banjir ini menurut hitungan hidrologi Menteri PUPR menyebutkan bahwa curah hujan ekstrem ini merupakan siklus 50 tahunan yang berulang, di samping munculnya fenomena La Nina.
Baca Juga:Â Â Pasca-Banjir, Listrik di Kota Semarang Mulai Nyala
Pemerhati lingkungan Munasik mengatakan, banyak faktor yang turut mendukung terjadinya banjir parah di Kota Semarang. Menurutnya, secara garis besar karena kurangnya perhatian masyarakat terhadap aspek ekologi kota.
“Selain aspek hidrometeorologi, terganggunya ekologi kota memicu besarnya bencana banjir dan tanah longsor di kawasan kota,” kata Munasik, Selasa (9/2/2021).
Ia mengatakan, perubahan ekologi Kota Semarang ditandai oleh berkurangnya daerah resapan di kota bagian atas serta turunnya muka tanah (land subsidence) di kota bagian bawah.
“Sehingga, curah hujan yang seharusnya tersimpan di daerah resapan kota atas melimpas dan meluncur deras menuju kota bawah sehingga menimbulkan genangan pada titik-titik lokasi yang rendah terutama yang dilalui sungai atau saluran air,” katanya.
Ditambah dengan permasalahan penurunan muka tanah di kota bawah maka praktis genangan akan semakin meluas dan dalam, apalagi jika bersamaandengan saat rob (pasang) air laut.
Menurutnya, peningkatan pembangunan di kota atas Semarang ditengarai telah menjadi penyebab menurunnya daerah resapan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya alih fungsi lahan.
“Meningkatnya permintaan rumah bagi warga kota telah meningkatkan pembangunan perumahan di kawasan hijau sehingga merubah fugsi lahan resapan menjadi Kawasan pemukiman, seperti di Tembalang, Banyumanik, Gunungpati, Mijen serta lahan atas Kabupaten Semarang dan sekitarnya ,” kata Dosen Ilmu Kelautan Undip ini.
Baca Juga:Â Â Banjir Semarang Masih 1 Meter, Sopir Truk Terjebak 3 Hari
Hal itu belum termasuk alih fungsi lahan akibat perubahan cara pemanfaatan lahan, lahan hutan berubah menjadi perkebunan budidaya dan tanaman semusim juga berpotensi menurunkan fungsi resapan air.
Follow Berita Okezone di Google News
Ia mengatakan, jika alih fungsi lahan ini terjadi di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) akan menimbulkan erosi, longsor dan berkurangnya tutupan lahan yang akan berdampak terhadap biodiversitas (keragaman hayati) kawasan hijau tersebut.
Selain tekanan ekologi akibat berkurangnya daerah resapan, kata dia, Kota Semarang juga tengah mengalami penurunan muka tanah hingga mencapai 15 cm per tahun. Bahkan, studi tahun 2007 telah memprediksi di tahun 2020, muka tanah di sebagian wilayah kota Semarang 1,5-2 meter di bawah permukaan laut.
Namun demikian, beberapa strategi pembangunan fisik, seperti pembangunan Waduk Jatibarang, pompanisasi di Kawasan langganan banjir serta pembangunan sabuk laut Semarang-Demak perlu diapresiasi oleh semua pihak dalam rangka mengurangi bencana banjir dan rob di Kota Semarang.
“Akan tetapi program fisik tersebut perlu disertai program-program ekologis untuk mengawalnya disertai penyadaran masyarakat kota akan pentingnya keseimbangan ekologi,” ujarnya.
Munasik mencontohkan, seperti kegiatan padat karya reboisasi lahan atas oleh masyarakat, rehabilitasi pesisir dan garis pantai Kota Semarang dengan penanaman mangrove dan vegetasi pantai. Di samping itu, Pemerintah Kota Semarang juga meningkatkan fungsi pengendalian alih fungsi lahan baik melalui pengetatan izin pemanfaatan lahan kota atas serta evaluasi RTRW Kota Semarang secara periodik.
Menurut dia, penanganan banjir harus menjadi prioritas pembangunan Kota Semarang ke depan, karena bencana banjir ini tidak hanya berakibat terhadap keselamatan jiwa warga, terganggunya pelayanan publik dan aktivitas ekonomi di daratan, tetapi juga berdampak terhadap sumber daya pesisir dan laut.
Pasalnya, air limpasan banjir berupa air tawar, keruh mengandung sedimen dan bahan pencemar akan mengganggu keseimbangan kehidupan pesisir dan laut. “Jika hal ini terjadi terus menerus akan merusak ekologi pesisir dan laut secara permanen yang ditandai dengan pantai yang keruh, perairan pantai semakin tawar,” ujarnya.
Akibatnya ikan dan biota bentik akan mati atau berenang menuju kelaut lepas. Sehingga bencana hidrometeorologi ini akan mengurangi produktivitas perikanan perairan laut Kota Semarang. “Mari berupaya untuk tertib di darat untuk keberlanjutan di laut,” katanya.
Seperti diberitakan, banjir menerjang Kota Semarang dengan ketinggian bervariasi 30 cm hingga mencapai 150 cm. Banjir menggenangi beberapa lokasi strategis dan vital di Kota Semarang. Di antaranya Jalan Raya Kaligawe dan Jalan Raya Mangkang merupakan pintu masuk Kota Semarang dari arah Jakarta maupun Surabaya. Banjir juga merendam stasiun Tawang, landasan pacu bandara Ahmad Yani, rumah sakit, SPBU dan sejumlah kantor sehingga melumpuhkan transportasi dan layanan publik di Kota Semarang.
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.