SRI LANKA - Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) independen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengeluarkan teguran keras untuk Sri Lanka. Komisi itu meminta negara tersebut mengakhiri kebijakannya yang mengharuskan jenazah korban Covid-19 dikremasi.
Praktik kremasi ini diketahui dilakukan untuk semua korban Covid-19. Termasuk apa yang dialami Mohammed Amanulla. Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya saat bercerita mengenai ibunya yang meninggal akibat Covid-19. Pria berusia 47 itu mengatakan, ia tidak menguburkan jenazah ibunya, dan terpaksa menelantarkannya di kamar mayat rumah sakit.
“Kami mematuhi hukum dengan membiarkan pemerintah melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Kami tidak akan mengambil jenazah anggota keluarga kami. Kami serahkan jenazah ke pemerintah dan kami meninggalkan jenazah itu," katanya.
Amanulla terpaksa menelantarkan jenazah orangtuanya karena pemerintah Sri Lanka tidak mengizinkan ia dan keluarganya mengubur jenazah sang ibu. Alasan pemerintah adalah menguburkan jenazah bisa meningkatkan laju perebakan wabah virus corona.
Amanulla dan ratusan atau bahkan ribuan Muslim Sri Lanka menolak kebijakan pemerintah untuk mengkremasi jenazah korban COVID-19. Apalagi tidak ada bukti ilmiah yang mengukuhkan dugaan ini.
(Baca juga: Banjir Bandang di India, Tim SAR Evakuasi 9 Mayat, 50 Orang Meninggal, 150 Orang Hilang)
Islam mengharuskan jenazah dimandikan, dikenakan kain kafan, disembahyangkan dan dimakamkan dalam waktu tidak lebih dari 24 jam sejak kematian. Karena peraturan menjaga jarak dan protokol kesehatan lainnya, pemerintah melarang praktik itu. Yang tidak kalah memprihatinkan, pemerintah juga menuntut keluarga korban membayar sendiri biaya kremasi.
Karena permintaan mereka untuk mengubur korban ditolak, banyak keluarga melakukan aksi protes dengan tidak mengklaim jenazah sanak kerabat mereka yang menjadi korban Covid-19. Beberapa rumah sakit di Kolombo, melaporkan, banyak jenazah korban pandemi terpaksa menumpuk di kamar-kamar mayat.
Shreen Suror, seorang aktivis HAM Muslim berang dengan sikap pemerintah yang seolah tidak ingin mendengarkan suara Muslim dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.
“Sudah hampir delapan bulan komunitas Muslim meminta jawaban pemerintah. Jadi mereka sudah jenuh bertanya. Mereka tidak lagi percaya pemerintah. Mereka merasa ini semacam hukuman. Jadi mereka tidak ingin menjadi bagian dari proses ini. Saya dengar, dua atau tiga rumah sakit di ibukota melaporkan, mereka kesulitan menangani tumpukan jenazah yang tidak diklaim keluarga mereka," paparnya.
(Baca juga: Kudeta Myanmar, Militer Wajibkan Warga Lapor Tamu yang Menginap)