Ditambahkannya, KH Munasir Ali dikalangan para tokoh dan kiai Nahdlatul Ulama (NU) menjadi salah satu sosok yang sering kali diminta pertimbangan. Terlebih saat hendak melakukan penyerangan atau penyerbuan. Taktik dan strategi jitu yang ada dalam kepala KH Munasir acap kali membuat musuh kocar-kacir.
"Kiai Munasir itu jarang ngomong, kalau sekali ngomong biasanya banyak yang nurutlah. Sehingga jadi panutan untuk menyelesaikan masalah. Sampai di usia tua belian kelihatan berwibawa dan kharismatik," jelas Habib.
Sementara itu, pemerhati sejarah Mojokerto Ayuhan Nafiq dalam catatannya mengungkapkan, Batalyon Tjondromowo memiliki peran penting dalam mempertahankan keberadaan Mojokerto dan Jombang dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Batalyon ini sempat melakukan tugas tempur ataupun tugas pengamanan wilayah di Tuban, Jombang dan Mojokerto.
Pertempuran 12 Pebruari 1949, Mayor Moenasir berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh di Dlanggu Mojokerto. Komandan pasukan dengan nomer register 39 itu kehilangan banyak anggotanya pada pertempuran sengit yang meminta banyak korban. KH Moenasir kemudian menuju Tebuireng dan berusaha menyusun kembali kesatuannya.
"Berdasarkan penuturan Kapten Achyat Chalimy, salah satu anggota Bn 39, Batalyon Moenasir hampir musnah. Istilah itu muncul karena tidak banyak anggotanya yang bisa berkumpul kembali ke induk pasukan. Mungkin sebagian gugur, hilang atau memilih bergabung dengan kesatuan pejuang lainnya," tulis Ayuhan.