Di sisi lain, beberapa kelompok nasionalis dari Wales menolak pemberian gelar "Prince of Wales” kepada William sebagai suksesor selanjutnya. Gelar "Prince of Wales” sendiri pertama kali muncul pada abad ke-14 setelah penaklukan Wales oleh Inggris.
Sementara di Irlandia Utara, perpecahan di tengah masyarakat yang menilai diri mereka sebagai bangsa Inggris dan bangsa Irlandia telah memicu konflik panjang selama puluhan tahun.
Bukan hanya di internal Britania Raya, dorongan untuk referendum dan menjadi republik juga muncul di Australia. Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese dikenal sebagai salah satu tokoh yang mendukung persemakmuran Inggris itu untuk menjadi republik. Ia juga telah menunjuk jabatan baru yakni Asisten Menteri Untuk Republik. Meski Albanese menyebut saat ini bukan waktu yang tepat untuk sebuah opsi referendum.
Pemerintah Partai Buruh kiri-tengah Australia menginginkan seorang presiden Australia untuk menggantikan raja Inggris sebagai kepala negara. Kematian Ratu Elizabeth II minggu lalu setelah 70 tahun memerintah dipandang oleh banyak orang sebagai peluang ideal untuk perubahan.
Menanggapi dorongan untuk referendum, sejumlah anggota parlemen di negara bagian Australia berjanji akan setia kepada Raja Charles III pada Selasa (13/9/2022). Para politisi menggarisbawahi kuatnya hubungan konstitusi antara negara itu dengan monarki.
Profesor Hukum Universitas Adelaide, Greg Taylor, mengatakan potensi negara bagian untuk menolak mengakhiri hubungan mereka dengan raja bukanlah alasan bagi Australia untuk tidak mengadakan referendum kedua untuk menjadi republik. Opsi bahwa negara-negara bagian di Australia untuk memiliki hubungan dengan monarki di tengah bentuk pemerintahan republik Ia nilai sebagai sebuah keniscayaan.
Dia mengatakan Kekaisaran Jerman dari tahun 1871 hingga 1918 adalah contoh koalisi monarki dan republik. "Jadi hal seperti itu mungkin. Saya pikir secara pribadi itu akan agak aneh,” ungkap Taylor, mengacu pada kemungkinan monarki negara bagian yang tersisa di republik Australia.