Laus berharap, Lukas Enembe tetap kuat, tetap tegar, tetap menggunakan khikmad Tuhan. "Kesalahan sebagai manusia pasti terjadi, tetapi kalau kita punya niat baik untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, pasti Tuhan akan buka jalan," imbuh dia
Ketua Analisis Papua Strategis ini menjelaskan bahwa di sisi lain bila KPK menggaungkan jemput paksa, atau narasi-narasi tanpa penjelasan yang lebih spesifik, maka masyarakat akan mempunyai kesimpulan sendiri-sendiri.
KPK harus mampu menjelaskan apa penyebab belum menangkap atau menahan Lukas Enembe, apakah karena masalah keamanan atau soal alat bukti yang belum cukup.
“Persoalan Gubernur Papua ini adalah persoalan kita bersama. Kita tidak boleh biarkan Bapak Lukas sendiri, tidak boleh biarkan Pemerintah Provinsi Papua ini sendiri, tidak boleh biarkan KPK bergerak sendiri, TNI-Polri bergerak sendiri,” imbau Laus.
Dirinya melihat ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari peristiwa ini. Pasalnya kasus Lukas Enembe melahirkan sebuah konsep pembangunan Papua dengan satu prespektif baru, yaitu pendekatan antropologis, pendekatan filosofis, pendekatan partisipatif, yang dilakukan secara bersama-sama.
“Pengalaman dari kasus hari ini menjadi sebuah peta demokrasi kita di Papua ke depan dan di Indonesia, bahwa kesalahan-kesalahan yang tejadi di masa lalu selama 20 tahun tentu sudah harus ada di dalam matriks atau statistik. Kurangnya di mana. Yang kurang-kurang inilah yang kita ambil, kita siapkan untuk 20 tahun ke depan. Tidak boleh terulang kembali, misalnya mencegah terjadinya korupsi, mencegah terjadinya pelanggaran HAM, mencegah terjadinya konflik budaya dan konflik sosial, dan lain-lain,” ujar Laus.
Untuk tujuan itu, Laus telah menginisiasi suatu gerakan dengan membentuk Tim Advokasi Independen bagi Gubernur Papua. Adapun yang dilakukan tim ini antara lain mengoleksi semua data, informasi untuk dikaji, diolah. Tim advokasi ini tidak memihak kepada Gubernur atau KPK, tetapi secara independen.
“Advokasi ini diperlukan, supaya jangan ada korban. Supaya jangan masyarakat kita tertipu, jangan masyarakat kita miskin dengan data, sehingga dia bisa mengambil kesimpulan-kesimpulan yang kemudian berimplikasi pada gerakan perlawanan. Terkesan itu terjadi bukan saja karena mobilisasi tetapi karena masyarakat tidak punya pemahaman politik yang baik, tidak punya pengetahuan tentang informasi-informasi mana yang benar dan mana yang hoaks,” kata Laus.
(Fakhrizal Fakhri )