TOKYO – Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida pada Selasa (11/10/2022) mengatakan para pemimpin dari negara-negara industri Kelompok Tujuh (G7) harus "bekerja sama" untuk mencegah Rusia menggunakan senjata nuklir di Ukraina.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kishida setelah menghadiri konferensi tingkat tinggi (KTT) darurat G7 secara daring.
Dikutip Antara, para pemimpin G7 berkumpul saat Moskow meluncurkan salah satu serangan rudal terbesar di Ukraina sejak invasi pada akhir Februari 2022 lalu sebagai pembalasan atas serangan akhir pekan lalu di jembatan Kerch yang menghubungkan Rusia dengan Krimea. Rusia menuduh Ukraina sebagai dalang di balik serangan di jembatan tersebut.
Baca juga: Terus Memantau, NATO Peringatkan Rusia Terhadap Serangan Infrastruktur Apapun di Ukraina
Setelah pertemuan virtual G7 pada Selasa (11/10/2022), Kishida mengatakan kepada wartawan bahwa negara-negara G7 menegaskan bahwa serangan Rusia di Ukraina "tidak dapat dibenarkan" dan mereka setuju untuk memperkuat kerja sama dalam mengatasi agresi Moskow terhadap Kiev.
Baca juga: Presiden Ukraina: Ancaman Nuklir Rusia Adalah Risiko Bagi Seluruh Planet
Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida mengambil bagian dalam pertemuan virtual G7 itu beberapa hari setelah Jepang membuka kembali Kedutaan Besar Jepang di Kiev pada Rabu lalu (5/10/2022) setelah sempat tutup selama tujuh bulan karena invasi Rusia.
Enam negara G7 lainnya -- Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia dan Amerika Serikat -- juga memulai kembali operasi diplomatiknya di Ukraina pada awal tahun ini.
Rusia mengatakan serangan rudal pada Senin (10/10/2022) terhadap Kiev dan kota-kota Ukraina lainnya menargetkan fasilitas militer dan energi.
Ukraina mengatakan setidaknya 14 warga tewas di seluruh negeri akibat serangan rudal itu.
Pada September lalu, Putin mendeklarasikan pencaplokan empat wilayah Ukraina yang didudukinya atau sekitar 15 persen dari wilayah Ukraina.
Pencaplokan itu dilakukan setelah Moskow mengklaim penduduk lokal memilih untuk bergabung dengan Rusia melalui sebuah referendum.
Namun, Ukraina dan negara-negara Barat mengecam referendum itu dan menganggapnya sebagai tidak sah.
(Susi Susanti)