Pendeta Wijayadi bukan asli warga Karanggede. Dia berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Dirinya datang ke kampung itu sekitar 2003 silam. Saat itu dia datang ke Karanggede dan membeli sebidang tanah untuk dibuat rumah. Kemudian pada 2004 mulai membangun rumah yang kemudian dijadikan gereja.
Meski izin secara resmi baru keluar pada 2017, namun masyarakat setempat tidak pernah mempersoalkan hal itu. “Masyarakat welcome dan tidak ribet. Tidak mempersoalkan itu (izin gereja),” ujarnya.
Dalam kehidupan sehari-hari Pendeta Wijayadi juga diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Dalam acara-acara kampung dia juga terlibat mulai dari acara kenduri selamatan atau hajatan warga dirinya juga diundang. Termasuk saat ada warga meninggal. Pendeta ini juga ikut menggali kubur bersama warga lain sesama muslim.
“Kalau ada kenduri, tradisi Jawa selametan saya ikut. Mereka berdoa dengan keyakinan mereka ya saya juga ikut mendoakan dengan keyakinan kami,” ucapnya.
Tak hanya soal kenduri, saat pembangunan masjid, Pendeta Wijayadi juga ikut bergotong royong. “Dulu kan ini musala, kemudian dibangun masjid sekitar 2010. Di situ saya ikut gotong royong, menganyam besi dan lainnya,” ujarnya.
Pendeta Wijayadi dan jemaatnya mengaku nyaman beribadah dan tinggal di Kampung Karanggede. Setiap event-event keagamaan di gerejanya, masyarakat sekitar juga membantu baik soal parkir hingga masalah keamanan. Meski gereja tak mempunyai lahan parkir sehingga parkir jemaat harus dilakukan di pinggir jalan, masyarakat juga bisa menerima.