3. Hukum dalam Bayang-Bayang Strategi Pemilu 2024.
Menjelang kontestasi Pemilu 2024, hukum yang seharusnya menjadi aturan main yang fair bagi seluruh peserta pemilu, berubah wujud, disalahgunakan, dan dikerdilkan menjadi hanya instrumen alias alat saja untuk strategi pemenangan pemilu. Aturan hukum diciptakan dan dilanggengkan untuk menutup ruang bagi hadirnya persaingan yang sehat, misalnya bertahannya terus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Kasus hukum diciptakan dan direkayasa untuk menjegal lawan atau calon competitor peserta pemilu. Baik kasus yang sebenarnya ada atau diadakan, hanya dijadikan daya tawar politik (political bargaining), bukan murni penegakan hukum untuk meraih keadilan publik melalui pemilu yang terlaksana Luber dan Jurdil. Kasus hukum akhirnya hanya menjadi alat sandera kepada elit parpol dan tokoh nasional, menjegal lawan, atau mengarahkan koalisi parpol dalam Pemilihan Presiden 2024.
Fenomena “Politization of Judiciary” menjadi marak, diawali dengan dilemahkannya KPK dan MK, misalnya, kedua lembaga itu diintervensi, dikuasai, dan dilumpuhkan dari pelaksanaan tugas fungsinya yang mulia. Pola rekrutmen di KPK dan MK dirusak, untuk menghadirkan komisioner ataupun hakim konstitusi yang sejalan dengan strategi pemenangan pemilu 2024, sehingga yang keluar dari skeanrio strategi disingkir-TWK-kan dari KPK, ataupun diberhenti-Aswanto-kan dari MK.
Kalaupun masih ada penegakan hukum antikorupsi di KPK, sebenarnya hanya menyentuh para pelaku yang tidak mempunyai beking politik dan hukum. Sedangkan pelaku kakap yang sesungguhnya (the real big fishes) justru tetap hilang, disembunyikan, ataupun sengaja tidak disentuh (untouchable), karena sudah mempunyai bunker perlindungan hukum, dan akses komunikasi dan koordinasi langsung ke pusat kekuasaan.
Rekrutmen Pimpinan KPK yang sebentar lagi berlangsung di tahun 2023, akan rentan dengan intervensi dan sarat kepentingan, untuk mendudukkan orang-orang yang bisa dikendalikan, sehingga penanganan perkara di KPK akan rentan, dan lagi-lagi sejalan dengan agenda pemenangan Pemilu 2024, yaitu menyerang lawan kompetitor dan melindungi kawan politik.
Termasuk dalam memanfaatkan instrumen hukum untuk pemenangan Pemilu 2024 adalah proses verifikasi parpol peserta pemilu. Partai apa yang lolos dan tidak lolos bukan semata karena memenuhi syarat kepemiluan, tetapi untuk melemahkan lawan politik, dan membantu kawan politik. Dalam situasi hukum yang disalahgunakan demikian, serta dengan lembaga hukum yang diintervensi dan dikuasai, maka Pemilu 2024 akan sulit diharapkan berlangsung Luber dan Jurdil sebagaimana amanat konstitusi, UUD 1945.
4. Hukum masih dalam Cengkeraman Mafia dan Duitokrasi.
Tahun 2022 mencatat bahwa aparat dan insan penegak hukum masih tidak steril dari praktik mafia hukum. Makelar kasus masih bergentayangan dan menentukan hasil akhir putusan peradilan, ataupun perjalanan kasus hukum di tanah air. Suap dilakukan terkadang masih dengan cara konvensional, bahkan melalui pemberian saham kepada kerabat dekat dari sang pejabat penegak hukum, misalnya kepemilikan saham di perusahaan sang oligarki. Atau, yang sebenarnya juga konvensional, tetapi lebih advance, dengan transaksi yang dilakukan di luar yurisdiksi Indonesia, ataupun modus “Ali-Baba” alias menyalahgunakan konsep nominee account. Ujungnya, hukum masih tunduk pada kekuatan uang, daulat duit alias Duitokrasi, dan jauh dari salah satu fungsinya sebagai penopang kehidupan Daulat rakyat, Demokrasi.