Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Pria Diperkosa Istrinya Selama 10 Tahun Pernikahan, Kerap Alami Kekerasan

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Kamis, 29 Desember 2022 |06:23 WIB
Kisah Pria Diperkosa Istrinya Selama 10 Tahun Pernikahan, Kerap Alami Kekerasan
Pria diperkosa istrinya selama 10 tahun. (Freepik)
A
A
A

'Saya menemukan dukungan dan jalan keluar'

Saat itu musim gugur, dan saya terbaring di tempat tidur karena sakit bronkitis dan demam setinggi 39-40 derajat Celcius selama dua minggu. Tidak ada yang menengok saya selama itu. Itulah saat saya menyadari bahwa hidup saya tidak ada harganya dan tidak ada yang akan merindukan saya kalau saya meninggal saat itu juga.

Momen itu mencerahkan saya: saya merasa ngeri, jijik, dan kasihan pada diri saya. Saya ingin bilang ke seseorang, tapi saya tidak tahu ke siapa dan bagaimana caranya.

Suatu saat saya pergi ke rumah orang tua saya ketika mereka tidak di rumah, hanya untuk bisa sendiri. Saya sedang menelusuri internet dan melihat sebuah kotak chat yang tiba-tiba muncul. Semuanya serba anonim, seolah-olah kita tidak eksis.

Itulah pertama kalinya saya mengungkap semua yang terjadi pada saya. Saya masih tidak sadar bahwa itu adalah penyiksaan, tapi sejak saat itu saya mulai berani berkata "tidak" lebih sering.

Pertama, soal hal-hal kecil. Penting bagi saya untuk berkata "tidak" daripada diam. Kapanpun saya butuh kekuatan, saya selalu terngiang momen ketika saya sakit.

Akhirnya saya menemukan terapis keluarga yang memberi saya dukungan. Ira dan saya bergiliran bicara kepadanya, dan ia dilarang menginterupsi saya. Itulah ketika saya pertama kali bicara tentang penyiksaan bagi saya. Ia sangat marah, lalu berteriak kepada saya dan menyangkal semuanya.

Ia lalu mengusulkan kita bercerai sesaat sesudahnya. Saya rasa ia sebenarnya tidak ingin bercerai, itu hanyalah upayanya agar saya diam.

Saya tahu kesempatan ini tidak datang dua kali dan saya sepakat bercerai. Di sebuah kantor catatan penduduk kami mengantri, jadi kami cari kantor lainnya. Saya berpikir, saya harus bercerai jika saya punya kesempatan. Kami pun akhirnya bisa bercerai.

Hari paling bahagia dalam hidup saya adalah ketika saya mendapat surat resmi perceraian sebulan kemudian. Beberapa hari setelah bercerai saya berteriak: "Kamu memerkosa saya!" kepada Ira.

"Saya memerkosa kamu? Lalu kenapa?" katanya.

Saya tidak tahu bagaimana menjawabnya, sampai sekarang. Di satu sisi, ia mengakui perbuatannya, tapi ia juga menertawakannya.

Saya pulang ke rumah orang tua saya dan secara perlahan membatasi kontak dengan Ira. Saya keluar dari pekerjaan saya dan tinggal di rumah selama beberapa minggu. Saya takut Ira ada di luar sana, mengamati saya.

Suatu hari Ira datang lagi dan mengetuk pintu rumah, menendangnya dan berteriak. Ibu saya takut. Saya tersenyum dan berkata, "Bu, bisa Anda bayangkan bagaimana saya dulu.."

Peristiwa seperti ini bisa membunuh kita

Saya tidak mengumpulkan bukti dan tidak bercerita ke orang lain. Saya bisa saja cerita ke orang tua saya, tapi sejak saya kecil saya tahu mereka tidak bisa jaga rahasia. Saya juga tidak tahu bagaimana cerita ke teman-teman soal pengalaman saya.

Saya mencari kelompok dukungan, tapi di Ukraina kelompok itu hanya ada untuk perempuan. Akhirnya saya menemukan komunitas online untuk pria dari San Francisco.

Psikoterapis pertama yang saya temui di Ukraina mencemooh saya: "Itu tidak mungkin terjadi--ia perempuan dan kamu laki-laki." Jadi saya berpindah-pindah ke enam spesialis dan akhirnya saya mendapatkan bantuan. Saya baru mengijinkan orang memegang tangan saya delapan bulan kemudian.

(Erha Aprili Ramadhoni)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement