SIEM REAP - Menunjuk ke air keruh Tonle Sap, Si Vorn menahan air mata saat dia mengingat putrinya yang berusia empat tahun meninggal karena diare setelah bermain di danau yang tercemar.
Keluarganya yang beranggotakan 12 orang termasuk di antara 100.000 orang yang tinggal di rumah terapung di perairan pedalaman Kamboja yang luas. Sedangkan desa mereka memiliki 70 rumah dan sebuah sekolah dasar (SD), namun desa itu tidak memiliki sistem sanitasi.
Sekarang sebuah perusahaan sosial lokal, Wetlands Work (WW), sedang mencoba untuk mengatasi masalah tersebut dengan meluncurkan "toilet apung" untuk menyaring limbah. Namun tingginya biaya pemasangan berarti untuk saat ini hanya tersedia untuk beberapa orang yang beruntung.
Selama beberapa generasi, penduduk desa yang mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan telah buang air besar langsung ke air yang mereka gunakan untuk memasak, mencuci, dan mandi - berisiko terkena diare dan bahkan penyakit bawaan air yang lebih parah seperti kolera.
"Kami menggunakan air ini, kami meminum air ini, dan kami buang air besar ke dalam air ini. Semuanya!,” terang Si Vorn, 52, kepada AFP. Dia mengatakan keluarganya selalu jatuh sakit.
"Setiap hari, saya mengkhawatirkan kesehatan saya. Lihat airnya, tidak ada sanitasi. Saya sangat khawatir tapi saya tidak tahu harus berbuat apa,” lanjutnya.
Lebih dari satu juta orang tinggal di atau di sekitar Tonle Sap, wilayah perikanan darat terbesar di dunia. Tetapi tidak ada sistem untuk mengelola kotoran manusia dari 20.000 rumah terapung di sekitar danau.