Ribuan pengunjuk rasa di Iran telah ditangkap dan empat telah dieksekusi sejak Desember lalu. Tetapi kelompok garis keras terus bersikeras agar lebih banyak dilakukan untuk menegakkan hukum.
Pada Sabtu (8/4/2023) lalu, Presiden Iran Ebrahim Raisi menegaskan kembali bahwa wanita Iran harus mengenakan jilbab sebagai "kebutuhan agama".
Kepala peradilan Iran Gholamhossein Mohseni-Ejei, bagaimanapun, memperingatkan pada Jumat (7/4/2023) bahwa tindakan keras yang meluas mungkin bukan cara terbaik untuk mendorong perempuan mengikuti aturan.
“Masalah budaya harus diselesaikan dengan cara budaya… Jika kita ingin menyelesaikan masalah seperti itu dengan menangkap dan memenjarakan, biayanya akan meningkat dan kita tidak akan melihat efektivitas yang diinginkan,” katanya.
Seperti diketahui, protes dipicu tahun lalu oleh kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi, seorang wanita muda Kurdi yang ditangkap karena diduga melanggar aturan jilbab.
Sejak kematian Amini, semakin banyak perempuan yang melepaskan jilbab mereka, khususnya di kota-kota besar, meski ada risiko penangkapan.
Wanita telah diwajibkan secara hukum untuk menutupi rambut mereka dengan hijab (kerudung) sejak Revolusi Islam 1979 memasang hukum agama yang tegas. Wanita yang melanggar hukum menghadapi denda atau penangkapan.
(Susi Susanti)