TANGGAL 3-4 Januari 1946 jadi peristiwa bersejarah bagi Indonesia yang baru merdeka. Ibu Kota Republik Indonesia (RI) harus dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta karena mulai tidak amannya nyawa Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) RI kala itu, Ir Soekarno dan Mohammad Hatta beserta jajaran kabinet. Intimidasi hingga ancaman pembunuhan dialami para tokoh tersebut.
Sebuah rapat kabinet memutuskan bahwa Soekarno-Hatta beserta perangkat pemerintahan lainnya, mesti dipindah ke Yogyakarta. Yogya dipilih karena memang awalnya ditawarkan Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dan Yogya paling siap melanjutkan roda pemerintahan.
Pemindahan menggunakan kereta api (KA) berstatus luar biasa atau Kereta Luar Biasa (KLB). Pada 1 Januari 1946, Kepala Eksploitasi Barat dari Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI, kini PT KAI), Sugandi, dipanggil menghadap Presiden RI Ir Soekarno. Sayangnya kala itu sang kepala tak bisa hadir dan diutuslah wakilnya, Suriadiningrat.
Di situlah dirancang sebuah strategi, sebuah siasat yang sangat rahasia. Operasi rahasia nan senyap itu pun memiliki misi bagaimana pemerintahan bisa dipindah dengan KA, tanpa diketahui Belanda maupun sekutu.
Lokomotifnya dipilih yang terbaik dari Seri C2849 dari Dipo Jatinegara. Sementara dua gerbong lainnya, IL7 dan IL8 yang sejak zaman Jepang disimpan DKARI di Balai Besar Manggarai, diambil untuk disambung dengan enam gerbong biasa.
BACA JUGA:
Semua penyusunan itu tak lepas dari tangan salah satu pengawas, BS Anwir. Selain pihak DKARI dan kabinet serta 14 personel Detasemen Kawal Presiden (DKP), tak ada satu pihak pun yang tahu “operasi” ini, termasuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
“Keamanan ditanggung DKARI. Semua yang memilih orang-orangnya dalam operasi ini itu Pak Anwir. Dia juga yang menyeleksi semuanya, mulai dari masinis, hingga Opseter (penanggung jawab) listrik KLB. Ayah saya, Hidayat yang pegang kelistrikan itu,” ujar Firdaus Hidayat, pemerhati sejarah KA yang juga salah satu putra Hidayat, kerabat kerja KLB kepada Okezone.
Saat sudah terkumpul formasi kerabat kerja DKARI untuk KLB, kini giliran jadwal keberangkatannya. Tentu yang dipilih ketika waktu sudah beranjak gelap tanggal 3 Januari 1946 sekira pukul 18.00.
Di situlah tugas DKP, membawa keluarga Soekarno-Hatta beserta jajaran kabinet dari kediaman masing-masing secara rahasia dengan rute melewati Jalan Bonang terlebih dulu. Setelah itu, barulah menuju KLB yang sudah menanti di belakang rumah Presiden Soekarno di Pegangsaan Timur.
BACA JUGA:
Proses KLB sampai ke belakang rumah Bung Karno pun bukan hal gampang. Setelah KLB lengkap dirangkai di bengkel Stasiun Manggarai, lebih dulu dilakukan gerakan langsir dan bahkan membuat penghalang, demi mengelabui Belanda yang sering acap menempatkan tentara di Stasiun Manggarai hingga Gambir.
“Dari Stasiun Manggarai, teman-teman bapak (Hidayat) bikin gerakan melangsir. Itu siasat yang luar biasa. Dibikin penghalang juga biar enggak kelihatan Belanda,” sambung Herry H Hidayat, putra bungsu Hidayat yang juga pelaku kerabat kerja KLB.
“Pas sudah di belakang rumah Bung Karno, rombongan naik ke KLB secara sembunyi-sembunyi, setelah kawat-kawat berduri di sekitar rel dipotongin DKP. Setelah naik dan mulai perjalanan, semua jendela, pintu ditutup. Listrik di dua gerbong kepresidenan itu juga dimatikan,” imbuhnya.