Dalam sebuah postingan di media sosial, militer mengatakan bentrokan di Bamba pada Minggu (1/10/2023) dimulai pada pukul 06:00, dan menggambarkan bentrokan tersebut sebagai “intens”. Pernyataan itu tidak menyebutkan nama para pejuang yang terlibat, hanya menggambarkan mereka sebagai “teroris”.
Aliansi kelompok Tuareg, termasuk Koordinasi Gerakan Azawad (CMA), mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka kini telah menguasai wilayah sekitar Bamba, sebuah kota di tepi kiri Sungai Niger antara kota Timbuktu dan Gao.
Pemberontak Tuareg, yang menginginkan kemerdekaan bagi Mali utara, menentang tentara yang mengambil alih pangkalan-pangkalan yang dikosongkan oleh ribuan tentara PBB yang akan berangkat.
Para pemberontak pernah bersekutu dengan kelompok militan Islam yang mengambil alih Mali utara pada 2012. Ini menjadi sebuah tindakan yang mendorong Prancis dan kemudian PBB melakukan intervensi untuk menghentikan mereka bergerak ke selatan menuju ibu kota, Bamako.
Kelompok Tuareg kemudian menandatangani perjanjian perdamaian Aljir pada 2015 dengan pemerintah. Namun para jihadis tetap melakukan serangan dari basis mereka di gurun pasir.
Pemberontakan yang terus berlanjut ini menjadi alasan utama militer Mali merebut kekuasaan pada 2020, dan menuduh pemerintah sipil gagal memberikan keamanan.
Mereka berjanji untuk mengakhiri serangan militan yang meminta Prancis menarik pasukannya dan mendatangkan pejuang Wagner.