PRANCIS – Sekutu Presiden Rusia Vladimir Putin pada Rabu (28/2/2024) memperingatkan Presiden Prancis Emmanuel Macron bahwa pasukan apa pun yang ia kirim ke Ukraina akan menemui akhir yang sama seperti Grande Armee pimpinan Napoleon Bonaparte yang invasinya ke Rusia pada 1812 berakhir dengan kematian dan kekalahan.
Macron pada Senin (26/2/2024) membuka pintu bagi negara-negara Eropa untuk mengirimkan pasukan ke Ukraina, meskipun ia memperingatkan bahwa belum ada konsensus pada tahap ini.
Komentarnya mendorong banyak negara Barat lainnya, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Inggris, untuk mengatakan bahwa mereka tidak memiliki rencana seperti itu.
Sedangkan Kremlin memperingatkan bahwa konflik antara Rusia dan aliansi militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang dipimpin AS tidak akan terhindarkan jika anggota NATO dari Eropa mengirim pasukan untuk berperang di Ukraina.
Vyacheslav Volodin, Ketua Duma Negara, majelis rendah parlemen Rusia dan sekutu dekat Putin, mengatakan Macron tampaknya melihat dirinya sebagai Napoleon dan memperingatkannya agar tidak mengikuti jejak kaisar Prancis.
“Untuk mempertahankan kekuasaan pribadinya, Macron tidak bisa memikirkan hal yang lebih baik selain memicu perang dunia ketiga. Inisiatifnya menjadi berbahaya bagi warga Prancis,” kata Volodin di akun media sosial resminya, dikutip Reuters.
“Sebelum membuat pernyataan seperti itu, sebaiknya Macron mengingat bagaimana hal itu berakhir bagi Napoleon dan tentaranya, lebih dari 600.000 di antaranya tergeletak di tanah lembab,” lanjutnya.
Seperti diketahui, Invasi Napoleon pada 1812 ke Rusia pada awalnya membuat kemajuan pesat dan merebut Moskow. Namun taktik Rusia memaksa Grande Armee mundur jauh dan ratusan ribu anak buahnya tewas akibat penyakit, kelaparan, dan kedinginan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan pernyataan Macron telah mengungkapkan bahwa negara-negara Barat lainnya, tidak seperti Macron, memahami risiko bentrokan langsung antara pasukan NATO dan Rusia.
“Para pemimpin di banyak negara Eropa dengan cepat mengatakan bahwa mereka tidak dan tidak merencanakan hal semacam itu,” katanya.
"Ini menunjukkan mereka memahami bahayanya,” tambahnya.
Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, yang sekarang menjadi wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, berpendapat bahwa Macron memiliki khayalan keagungan yang berbahaya dan mengatakan pernyataannya adalah contoh betapa cacatnya pemikiran politik Barat.
“Pewaris Bonaparte yang kecil dan tragis, yang mencoba tanda pangkat emas yang direnggut 200 tahun lalu, sangat ingin membalas dendam sebesar Napoleon dan melontarkan omong kosong yang kejam dan sangat berbahaya,” katanya.
Medvedev, yang pernah dipandang sebagai reformis modernisasi, telah mengubah dirinya sejak awal perang Ukraina sebagai sosok yang sangat agresif. Dia telah mengeluarkan serangkaian pernyataan yang bersifat agresif, menyerang negara-negara Barat dan memperingatkan risiko kiamat nuklir jika garis merah tertentu dilanggar.
Perang di Ukraina telah memicu krisis terburuk dalam hubungan Rusia dengan Barat sejak Krisis Rudal Kuba pada 1962 dan Putin, yang mengendalikan persenjataan nuklir terbesar di dunia, telah memperingatkan bahaya konfrontasi langsung antara NATO dan Rusia.
Kendati demikian, pernyataan Macron disambut baik oleh beberapa pihak di luar Rusia, khususnya di Eropa Timur.
(Susi Susanti)