Seorang jurnalis yang tidak disebutkan namanya dari sebuah surat kabar Eropa menggambarkan dinamika antara pejabat China dan jurnalis asing sebagai perjuangan terus-menerus dalam melawan pengekangan PKC. Jurnalis tersebut menyatakan bahwa strategi apa pun yang dicoba, sistem pengawasan dan keamanan China akan beradaptasi dan mempersempit ruang pemberitaan di bawah pemerintahan totaliter Beijing.
Selama bertahun-tahun, PKC tidak menoleransi kebebasan pers dan menjadikan China sebagai salah satu negara yang paling banyak memenjarakan jurnalis.
Sekira 99 persen dari mereka yang disurvei mengatakan kondisi pelaporan berita di China jarang atau tidak pernah memenuhi standar pelaporan internasional karena pembatasan yang dilakukan PKC. Sementara itu, sebanyak 81 persen mengatakan mereka pernah mengalami campur tangan, pelecehan, atau kekerasan saat bekerja di China di bawah kebijakan rezim pemerintah.
Laporan tersebut menyatakan bahwa lebih dari separuh responden mengatakan mereka dihalangi polisi atau pejabat lainnya setidaknya satu kali, seperti dilarang merekam, mengambil gambar, melakukan wawancara, atau ditahan. Mereka mengecam taktik sensor pemerintah terhadap media asing. Banyak orang di China menolak berbicara dengan jurnalis asing karena takut akan pembalasan dari rezim PKC.
Akreditasi Jurnalis Asing
Menurut laporan tersebut, mayoritas warga China menolak wawancara, dengan menyatakan bahwa mereka tidak diizinkan untuk berbicara dengan media asing atau memerlukan izin sebelumnya dari partai komunis yang berkuasa. Laporan tersebut menyoroti meningkatnya penindasan yang dilakukan PKC terhadap suara-suara yang berbeda pendapat, dan mencatat adanya perubahan signifikan di mana sumber akademis, pegawai lembaga think tank, dan analis menolak wawancara, meminta anonimitas, atau tidak menanggapi sama sekali.