Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Rencana Gencatan Senjata Gaza Mendadak Berubah Jadi Permainan Bertahan Hidup yang Mematikan

Susi Susanti , Jurnalis-Selasa, 04 Juni 2024 |08:32 WIB
Rencana Gencatan Senjata Gaza Mendadak Berubah Jadi Permainan Bertahan Hidup yang Mematikan
Rencana gencatan senjata di Gaza berubah jadi permainan bertahan hidup yang mematikan (Foto: Reuters)
A
A
A

GAZA - Bagi para pemimpin Hamas dan Israel, mengakhiri perang di Gaza telah menjadi permainan mematikan untuk bertahan hidup.

Jangka waktu berakhirnya perang dapat sangat menentukan masa depan politik dan cengkeraman kekuasaan mereka. Bagi pemimpin Hamas Yahya Sinwar, bahkan hal itu bisa menjamin kelangsungan hidupnya secara fisik.

Hal inilah yang menyebabkan negosiasi sebelumnya gagal. Itu juga sebabnya pertanyaan tentang bagaimana mengakhiri pertempuran secara permanen ditunda ke tahap terakhir dari rencana yang digariskan oleh Presiden AS Joe Biden pada Jumat (31/5/2024).

Transisi antara pembicaraan mengenai kesepakatan terbatas sandera-tahanan ke diskusi tentang gencatan senjata permanen, diakui Biden, akan menjadi sulit.

Namun di sinilah keberhasilan atau kegagalan kesepakatan terbaru ini kemungkinan besar akan bergantung.

Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, memiliki alasan domestik yang kuat untuk ingin mengambil kesepakatan ini selangkah demi selangkah.

Fase pertama, seperti yang digariskan oleh Biden, adalah pembebasan puluhan sandera, baik hidup maupun mati. Hal ini akan disambut baik di negara di mana kegagalan untuk membebaskan semua orang yang ditahan oleh Hamas, bagi banyak orang, merupakan noda moral yang mencolok dalam pengelolaan perangnya.

Namun Hamas kemungkinan besar tidak akan menyerahkan sandera yang paling sensitif secara politik, yakni perempuan, terluka, lanjut usia tanpa jaminan bahwa Israel tidak akan memulai kembali perang begitu mereka tiba di rumah.

Bocoran informasi yang dikutip oleh media Israel pada Senin (3/6/2024) pagi menunjukkan bahwa Netanyahu telah mengatakan kepada rekan-rekannya di parlemen bahwa Israel akan tetap membuka pilihannya.

Opsi untuk melanjutkan pertempuran sampai Hamas ‘dilenyapkan’ adalah pilihan yang diyakini sebagian orang, yang paling tidak akan diminta oleh mitra koalisi sayap kanan Netanyahu.

Tanpa dukungan mereka, ia menghadapi kemungkinan diadakannya pemilu dini dan berlanjutnya persidangan korupsi.

Netanyahu perlu tetap membuka opsi jangka panjangnya agar bisa mendapatkan dukungan mereka terhadap kesepakatan awal penyanderaan. Sebaliknya, para pemimpin Hamas cenderung menginginkan jaminan gencatan senjata permanen di awal.

Kesepakatan sebelumnya telah runtuh ke dalam jurang ini. Menjembatani hal tersebut sekarang akan bergantung pada seberapa besar ruang yang dimiliki Netanyahu dan sekutu pemerintah sayap kanannya untuk melakukan manuver guna mencari alternatif selain ‘penghapusan’ Hamas, dan seberapa jauh para pemimpin Hamas siap untuk mempertimbangkannya.

Netanyahu berbicara pada akhir pekan tentang penghancuran kemampuan militer dan pemerintahan Hamas dan memastikan bahwa kelompok tersebut tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel.

Hanya sedikit yang membantah bahwa Hamas telah menderita kerugian besar pada infrastruktur militernya dan bahkan, beberapa orang mengatakan, pada dukungan publiknya di Gaza dan kendalinya atas jalan-jalan.

Namun tidak ada tanda-tanda bahwa Israel telah membunuh atau menangkap pemimpin tertingginya Yahya Sinwar dan Mohammed Deif, dan membiarkan mereka bebas di Gaza untuk merayakan penarikan pasukan Israel akan menimbulkan bencana politik bagi perdana menteri Israel yang diperangi tersebut.

Pada Senin (3/6/2024), juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa meskipun kemampuan Hamas terus menurun dalam beberapa bulan terakhir, namun Hamas tetap menjadi ancaman dan AS tidak yakin kelompok tersebut dapat dilenyapkan secara militer.

Sementara itu, Gedung Putih mengatakan Biden telah mengkonfirmasi kesiapan Israel untuk melanjutkan persyaratan yang kini telah ditawarkan kepada Hamas dan mengatakan bahwa kelompok Palestina kini menjadi satu-satunya hambatan dalam mencapai kesepakatan.

Secara terpisah, juru bicara militer Laksamana Muda Daniel Hagari mengatakan militer Israel akan dapat menjamin keamanan Israel jika terjadi gencatan senjata yang disetujui pemerintah.

Namun Yanir Cozin, koresponden diplomatik stasiun radio militer Israel, GLZ, percaya bahwa Netanyahu tidak akan mengakhiri perang sampai ia dapat menggambarkannya sebagai sebuah keberhasilan.

“Kesepakatan yang meninggalkan Hamas adalah sebuah kegagalan besar,” katanya.

“Delapan bulan kemudian, ketika Anda belum mencapai satu pun tujuan perang, tidak menghabisi Hamas, memulangkan semua sandera, atau mengamankan perbatasan maka dia tidak ingin mengakhiri perang. Namun dia juga memahami bahwa dia tidak bisa membiarkannya sampai pemilu Israel berikutnya pada tahun 2026,” lanjutnya.

“Jika dia bisa berkata, Kami mengasingkan Yahya Sinwar dan Mohammed Deif, mereka tidak tinggal di Gaza’dan jika orang-orang yang tinggal di dekat Gaza dan perbatasan utara bisa kembali, Saya pikir dia bisa mempertahankan pemerintahannya tetap bersatu. Tapi banyak yang ‘seandainya’,” ungkapnya.

Hamas kemungkinan besar tidak akan menyetujui pengasingan atau penyerahan tokoh-tokoh utamanya. Namun ada perpecahan yang jelas antara para pemimpin Hamas di dalam dan di luar Gaza.

Mantan PM Israel Ehud Barak, yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan, mengatakan kepada radio Israel pada Senin (3/6/2024) bahwa Presiden Biden telah mengumumkan kesepakatan tersebut setelah melihat bahwa Netanyahu hanya bergerak maju ketika dia yakin bahwa Sinwar akan menolak.

“Menurut Anda bagaimana reaksi Sinwar ketika dia cenderung setuju dan kemudian diberitahu: tapi cepatlah, karena kami masih harus membunuh Anda setelah Anda mengembalikan semua sandera,” katanya.

Sementara itu, puluhan ribu warga Israel yang mengungsi setelah serangan Hamas pada 7 Oktober sedang mengamati langkah perdana menteri mereka selanjutnya.

Di antara mereka adalah Yarin Sultan, ibu tiga anak berusia 31 tahun yang lari dari rumahnya di Sderot di perbatasan Gaza pada pagi hari setelah serangan Hamas. Dia bilang dia tidak akan pulang sampai Yahya Sinwar dan Mohammed Deif tidak lagi bebas.

“Gencatan senjata ini akan membunuh kami,” katanya kepada BBC. “Kami akan membebaskan para sandera, namun beberapa tahun dari sekarang Anda akan menjadi sandera berikutnya, Anda akan menjadi orang-orang berikutnya yang dibunuh, para wanita yang diperkosa, semua ini akan terjadi lagi,” lanjutnya.

(Susi Susanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement