Agar keterlibatan akademisi lebih efektif, Ahmad menyarankan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Pertama, perlunya rasa saling menghormati antara akademisi dan pembuat kebijakan. Kedua, menjunjung kesetaraan dan martabat dalam kerja sama. Ketiga, memastikan prosesnya inklusif dengan melibatkan pihak yang terdampak oleh kebijakan.
“Inklusif ini masih jarang, misal menulis aturan tentang kanker, kita undang orang yang mengalami penyakit tersebut dan minta pendapatnya,” katanya.
Ahmad menambahkan bahwa prinsip-prinsip ini dapat mendorong akademisi untuk menghasilkan riset berkualitas yang relevan bagi kebijakan publik. Sebaliknya, tanpa mengedepankan poin-poin tersebut, riset tidak bisa mengembangkan apa yang dibutuhkan pembuat kebijakan.
"Membangun sistem kolaborasi itu dibutuhkan untuk menghasilkan kualitas riset bagus, termasuk cara pengemasan dan bahasa saat disampaikan kepada pembuat kebijakan,” imbuhnya.
Sementara itu Profesor Tikki Pangestu, mantan Direktur Riset Kebijakan Penelitian dan Kerja Sama WHO, menegaskan bahwa kebijakan yang didasarkan pada bukti ilmiah biasanya lebih efektif. “Sebagai justifikasi untuk membuat keputusan yang baik,” ujarnya.
Tikki menyebut bahwa saat ini banyak lembaga pendidikan yang sudah melakukan riset dan teknologi yang bisa dijadikan rekomendasi untuk kebijakan pemerintah. Contohnya, Pemerintah Jepang yang mendukung produk tembakau alternatif seperti tembakau yang dipanaskan.