Melansir Al Mayadeen, keputusan Trump yang paling kontroversial adalah menunjuk seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari New York, Elise Stefanik, sebagai perwakilan AS di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Stefanik sebelumnya memimpin upaya untuk membungkam suara pro-Palestina di kampus-kampus universitas dengan dalih melawan antisemitisme. Antisemitisme sendiri merupakan sikap atau kebencian terhadap orang Yahudi.
Stefanik juga pernah menyebut PBB sebagai "kolam antisemitisme" setelah mengkritik kematian warga sipil di Gaza.
Ketika Joe Biden memutuskan untuk menghentikan pengiriman ribuan bom ke Israel, Stefanik mengkritik keputusan tersebut dan menegaskan bahwa Israel harus diberi senjata mematikan untuk mencapai kemenangan total.
Menurut Direktur Eksekutif American Muslim Engagement and Empowerment Network (AMEEN), Rexhinaldo Nazarko, para pemilih Muslim berharap Trump menunjuk pejabat yang mendukung perdamaian, namun susunan kabinet yang dipilih justru menunjukkan hal yang bertolak belakang.
"Kami sangat kecewa," ujar Nazarko. "Sepertinya pemerintahan ini sepenuhnya diisi oleh neokonservatif yang sangat pro-Israel dan pro-perang, ini merupakan kegagalan besar dari Presiden Trump terhadap gerakan pro-perdamaian,” lanjutnya.
Mantan profesor di Universitas Minnesota dan salah satu pendiri kampanye Abandon Harris, Hassan Abdel Salam, mengatakan bahwa meskipun ia sudah memperkirakan keputusan Trump tidak akan berpihak pada komunitasnya, realitas yang muncul ternyata jauh lebih ekstrem dari apa yang ia bayangkan sebelumnya.
"Seolah-olah Trump sedang memaksakan agenda Zionis secara berlebihan," ungkap Salam. "Kami skeptis sejak awal, tetapi sekarang terlihat jelas bahwa komunitas kami telah dimanfaatkan,” tambahnya.