JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kembali mengingatkan potensi ancaman gempa besar yang berpotensi tsunami dari zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Meskipun, hingga saat ini belum ada yang bisa memastikan kapan gempa di zona megathrust itu akan terjadi.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati pun mengungkapkan, bahwa seismik gap zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sudah lebih dari 200 tahun. Padahal, berkaca dari seismik megathrust Nankai Jepang seismik gapnya membutuhkan waktu 78 tahun. Sementara, megathrust Tohoku-Oki itu tahun tahun 2011 terlepas yang membutuhkan waktu 176 tahun dan Aceh-Andaman sudah lepas dengan waktu 97 tahun. Sehingga sudah seharusnya meningkatkan kewaspadaan akan potensi gempa di zona megathrust.
“Yang belum terjadi yang sedang ditunggu itu adalah di Selat Sunda dan di Mentawai Siberut sudah lebih dari 227 tahun. Sehingga sudah seharusnya kami untuk bersiap menyiapkan itu. Teknologi kita tingkatkan, kita bangun terus sistemnya,” jelas Dwikorita dalam webinar Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi, Jumat (17/1/2025).
“Nah ini data yang menunjukkan aktivitas gempa yang relatif jarang di zona seismik gap. Jadi kenapa kita sebut seismik gap di situ memang ada kekosongan ya, ada gap. Dan di situ kita khawatir di zona yang itu, nah itu dikhawatirkan akan terlepas sewaktu-waktu karena massanya sudah terlampaui,” papar Dwikorita.
Oleh karena itu, Dwikorita mengatakan, bahwa dalam rangka persiapan gempa di zona megathrust, BMKG telah melakukan skenario model guncangan gempa megathrust Selat Sunda. Menurut Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGen) magnitudonya mencapai 8,7.
“Dan di situ dapat terprediksi atau terestimasi kalau itu terjadi yang akan mengalami guncangan adalah zona-zona kuning itu guncangannya kuning ya, kuning sampai orange, ada merah juga itu di sekitar juga ya itu intensitas guncangannya mencapai 6 hingga 7 MMI ya dengan deskripsi artinya kalau intensitas setinggi itu akan terjadi kerusakan sedang hingga berat,” katanya.