JAKARTA - Sejumlah pakar dan praktisi hukum menyoroti daftar penambahan kewenangan yang bermasalah dalam Revisi UU Kejaksaan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Valerianus Beatae Jehanu mewanti-wanti adanya fungsi kewenangan intelijen bagi Kejaksaan yang diatur dalam revisi UU tersebut.
Ia menyoroti peran jaksa dalam yang bisa mengawasi ruang media. Sementara dalam revisi itu tidak diatur apakah fungsi pengawasan multimedia itu hanya bisa dilakukan dalam konteks pro justicia atau tidak.
"Fungsi Intelijen Kejaksaan dalam penegakan hukum ini keliru karena harusnya hanya bisa dalam hal pro justicia," ujarnya seperti dikutip, Jumat (214/3/2025).
Ia juga turut menyoroti masih lemahnya fungsi pengawasan terhadap Korps Adhyaksa dalam Revisi UU Kejaksaan. Kondisi itu, kata dia, justru rentan menimbulkan potensi impunitas bagi jaksa.
Dicontohkannya, salah satunya terkait frasa pemeriksaan terhadap anggota Korps Adhyaksa hanya bisa dilakukan jika ada persetujuan dari Jaksa Agung. "Kontrol Kejaksaan semakin lemah karena memiliki imunitas yaitu Jaksa hanya bisa dipanggil dan diperiksa atas izin Jaksaan Agung," tegasnya.
Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure Awan Puryadi turut menyoroti sejumlah penambahan kewenangan bagi Kejaksaan dalam revisi UU tersebut. Ia mencontohkan penambahan kewenangan baru bagi jaksa dalam revisi itu untuk melakukan penelusuran, perampasan, dan pengembalian asset tindak pidana melalui pembentukan Badan Pemulihan Aset.
Namun, ia menyebut penambahan kewenangan baru itu tidak diikuti dengan penguatan pengawasan. Padahal, kata dia, belum lama ini ada jaksa yang terjerat korupsi terkait hasil rampasan aset di kasus robot trading.
Awan juga menyoroti penambahan fungsi intelijen bagi Kejaksaan. Menurutnya penambahan kewenangan itu sangat berbahaya dalam konteks penegakan hukum dan demokrasi. Ia khawatir akan disalahgunakan untuk memanggil pihak-pihak tertentu tanpa proses penyelidikan. Sementara perbuatan itu tidak akan bisa digugat ke praperadilan lantaran bukan dalam proses penegakan hukum.
"Pernah kejadian, sebanyak 43 guru honorer yang jadi PNS diundang oleh kejaksaan Padang Sidempuan karena diduga ada informasi korupsi. Bupati, tiba-tiba dipanggil hanya berdasarkan informasi. Bisa jadi seperti itu," ujarnya.