JAKARTA - Polemik dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang dipantik sejumlah pihak dinilai bukan sekadar kegaduhan biasa. Pasalnya, tuduhan ini sejatinya telah terbantahkan oleh lembaga resmi.
Pengamat hukum dan politik, Pieter C Zulkifli, menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh dikorbankan demi panggung para pemburu sensasi. Menurutnya, kegaduhan yang kembali dimunculkan oleh sebagian kalangan terkait isu dugaan ijazah palsu Jokowi tidak dapat lagi dilihat sebagai bagian dari kritik yang sehat.
“Isu itu adalah pola lama politik tanpa etika yang menanggalkan nalar sehat dan berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara,” ujarnya, Senin (19/5/2025).
Mantan Ketua Komisi III DPR ini kembali menegaskan, seluruh lembaga resmi negara mulai dari Universitas Gadjah Mada dan diperkuat oleh putusan pengadilan bahkan dibahas di Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar.
“Puncak dari kegaduhan ini terjadi pada 30 April 2025, ketika Jokowi melalui tim kuasa hukumnya melaporkan Roy Suryo, Tifauzia Tyassuma, Rismon Sianipar, Eggi Sudjana, dan Kurnia Tri Royani ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran fitnah,”tuturnya.
Laporan ini menandai pentingnya membedakan antara kritik dan kebohongan publik yang berujung disinformasi. Masalah utama saat ini bukan soal kebebasan berpendapat, tetapi penyalahgunaan kebebasan itu untuk menyebarkan disinformasi.
Dia juga mengutip filsuf Romawi, Seneca, yang menyatakan tidak ada yang lebih tragis daripada kebodohan yang disertai keyakinan tinggi. "Ini sebuah peringatan akan bahaya keyakinan yang tidak berbasis fakta,” ucapnya.
"Jika tuduhan tak berdasar terus-menerus dipelihara, maka bukan hanya seorang Presiden yang diserang, tetapi keutuhan demokrasi itu sendiri yang terancam," tegasnya.
Pieter Zulkifli menuturkan kepercayaan publik adalah pilar dalam sistem demokrasi. Tanpa kepercayaan, negara akan mengalami retakan dalam jangka panjang, bukan oleh senjata tetapi oleh narasi kebohongan yang dipelihara secara sistematis.
Dia menuturkan tantangan terbesar demokrasi Indonesia hari ini bukanlah kekerasan fisik, tetapi infiltrasi kebohongan ke dalam kesadaran publik.
“Negara harus hadir menjaga muruah demokrasi, menegakkan hukum, dan melindungi ruang publik dari disinformasi yang memecah belah. Dan ketika kepercayaan itu runtuh, yang menyusul adalah instabilitas sosial dan politik yang jauh lebih sulit dipulihkan," tutup Pieter.
(Fahmi Firdaus )