JAKARTA - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menganalisis persentase wilayah Indonesia yang sudah benar-benar memasuki musim kemarau baru mencapai 15% dari total zona musim (ZOM). Hal ini mengindikasikan masih tingginya kejadian hujan di tanah air dalam beberapa hari terakhir.
Di sisi lain, BMKG memantau keberadaan Siklon Tropis Wutip di Laut China Selatan timur Vietnam yang cenderung menarik massa udara dan mengurangi potensi hujan di sejumlah wilayah Indonesia bagian barat.
“Meskipun secara umum potensi hujan berkurang, beberapa wilayah masih menunjukkan aktivitas hujan yang cukup signifikan akibat pengaruh sejumlah dinamika atmosfer yang masih aktif,” tulis BMKG dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (13/6/2025).
Data pengamatan BMKG menunjukkan bahwa hujan dengan intensitas lebat hingga ekstrem masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Pada tanggal 6 Juni 2025, hujan sangat lebat tercatat di Stasiun Rahadi Oesman, Kalimantan Barat dengan curah hujan sebesar 125 mm/hari. Hujan ekstrem terjadi pada 7 Juni 2025 di Stasiun Meteorologi Kuffar, Maluku dengan intensitas mencapai 158 mm/hari.
Pada tanggal 8 Juni 2025, Stasiun Meteorologi Juanda, Jawa Timur mencatat hujan sangat lebat sebesar 114 mm/hari. Hujan lebat juga teramati di Stasiun Meteorologi Beto Ambari, Sulawesi Tenggara pada 9 Juni 2025 dengan curah hujan 97 mm/hari, dan kembali terjadi hujan sangat lebat di Stasiun Maritim Ambon, Maluku pada 10 Juni 2025 dengan curah hujan 105 mm/hari.
“Kejadian-kejadian ini mencerminkan bahwa masih adanya fenomena atmosfer yang aktif dan berpotensi memicu cuaca ekstrem, meskipun secara klimatologis beberapa wilayah telah memasuki musim kemarau,” kata BMKG.
Secara spasial, fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) teridentifikasi di Samudra Hindia barat Sumatra hingga wilayah daratan Sumatra bagian tengah, seperti Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi. Aktivitas gelombang ekuator juga terpantau signifikan mempengaruhi pola cuaca di wilayah Indonesia.
Gelombang Rossby Ekuator aktif dari Samudra Hindia hingga Laut Filipina, Gelombang Kelvin terpantau dari barat daya Banten hingga Sulawesi bagian barat, dan gelombang Low Frequency juga persisten di wilayah selatan Indonesia seperti NTB, NTT, hingga Papua. Faktor-faktor ini diperkuat oleh suhu muka laut (SST) yang hangat dengan nilai anomali –0.5°C hingga +2.3°C di sejumlah perairan Indonesia, sehingga meningkatkan massa uap air atmosfer.
Intrusi udara kering dari selatan juga memperkuat ketidakstabilan atmosfer di sebagian wilayah Indonesia, khususnya di NTT, Maluku bagian selatan, dan Papua Selatan. Peningkatan kecepatan angin permukaan (>25 knot) di Laut Andaman, Laut Banda, Laut Jawa, dan Laut Arafura juga perlu diperhatikan, mengingat dampaknya yang mampu meningkatkan potensi gelombang laut tinggi sehingga dapat mempengaruhi aktivitas pelayaran dan kelautan.
Melihat kondisi atmosfer yang masih relatif dinamis, masyarakat diimbau untuk tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem seperti hujan lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi yang masih ada meskipun beberapa wilayah telah memasuki musim kemarau. BMKG terus menekankan pentingnya memantau informasi cuaca dari sumber resmi secara berkala dan mengambil langkah mitigasi yang diperlukan guna mengantisipasi serta mengurangi dampak risiko bencana hidrometeorologi di wilayah masing-masing.
Dalam sepekan ke depan, BMKG mendeteksi bahwa Indeks Monsun Australia diprakirakan menguat. Kondisi ini mengindikasikan peningkatan aliran massa udara kering dari Australia menuju wilayah Indonesia bagian selatan yang berpotensi menyebabkan berkurangnya curah hujan dan mendorong perluasan wilayah yang memasuki musim kemarau, khususnya di wilayah Jawa bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian Kalimantan bagian selatan.