Michael Sfard, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka Israel, menyebut skema yang diusulkan tersebut sebagai "rencana operasional untuk kejahatan terhadap kemanusiaan."
"Meskipun pemerintah masih menyebut deportasi ini 'sukarela', orang-orang di Gaza berada di bawah begitu banyak tindakan pemaksaan sehingga tidak ada keberangkatan dari Jalur Gaza yang dapat dianggap secara hukum sebagai sesuatu yang konsensual," ujar Sfard kepada Guardian.
Rencana "kota kemanusiaan" ini muncul setelah Israel menolak usulan perubahan Hamas terhadap kesepakatan gencatan senjata Gaza. Kelompok militan Palestina tersebut dilaporkan menginginkan perjanjian tersebut untuk memastikan gencatan senjata permanen dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Konflik antara Hamas dan Israel dimulai pada Oktober 2023, ketika kelompok tersebut melancarkan serangan mendadak di wilayah selatan negara itu. Serangan awal menewaskan sekira 1.200 orang, dengan sekira 250 orang disandera. Sekira 50 sandera masih ditawan di Gaza. Kurang dari separuhnya diyakini masih hidup. Selama 21 bulan terakhir, respons militer Israel, yang melibatkan pemboman udara dan artileri berat, serta operasi darat di Jalur Gaza, telah menewaskan setidaknya 57.000 orang, sebagian besar warga sipil, menurut kementerian kesehatan setempat.
(Rahman Asmardika)