JAKARTA - Bentrokan antara pasukan Thailand dan Kamboja di perbatasan kedua negara telah menewaskan setidaknya 12 orang, kata pihak berwenang Thailand. Pertempuran ini menandai eskalasi pertikaian antara kedua negara tetangga Asia Tenggara yang telah berlangsung lebih dari satu abad.
Menurut militer Thailand, sebagian besar korban adalah warga sipil dari tiga provinsi di Negeri Gajah Putih itu. Sementara itu, Kamboja belum mengonfirmasi apakah ada korban jiwa.
Kedua belah pihak saling tembak pada Kamis (24/7/2025) pagi, dengan masing-masing pihak mengklaim bahwa pihak lain telah memicu konflik. Konflik meningkat dengan cepat, dengan Thailand menuduh Kamboja menembakkan roket dan Bangkok melancarkan serangan udara terhadap sasaran militer Kamboja.
Thailand telah menutup perbatasannya dengan Kamboja, sementara Kamboja telah menurunkan tingkat hubungannya dengan Thailand, menuduh militer Thailand menggunakan "kekuatan berlebihan".
Kedua negara telah meminta warganya yang berada di dekat perbatasan untuk meninggalkan wilayah tersebut, dengan Thailand mengevakuasi 40.000 warga sipil ke lokasi yang lebih aman.
"(Pertempuran) ini benar-benar serius. Kami sedang dalam proses evakuasi," ujar Sutian Phiwchan, seorang penduduk lokal distrik Ban Dan di Provinsi Buriram, Thailand, dekat perbatasan Kamboja, kepada BBC.
Pihak berwenang Thailand mengatakan bahwa total 11 warga sipil—termasuk seorang anak berusia delapan tahun dan seorang anak berusia 15 tahun—serta satu personel militer tewas di Provinsi Surin, Ubon Ratchathani, dan Srisaket.
Thailand dan Kamboja memiliki versi berbeda tentang apa yang terjadi.
Thailand mengklaim bahwa hal itu bermula dari militer Kamboja yang mengerahkan pesawat tanpa awak untuk melakukan pengawasan terhadap pasukan Thailand di dekat perbatasan.
Kamboja mengatakan tentara Thailand memulai konflik ketika mereka melanggar perjanjian sebelumnya dengan maju ke kuil Khmer-Hindu di dekat perbatasan.
Perselisihan ini bermula lebih dari seratus tahun yang lalu, ketika perbatasan kedua negara ditetapkan setelah pendudukan Prancis di Kamboja.
Permusuhan resmi terjadi pada 2008, ketika Kamboja mencoba mendaftarkan sebuah kuil abad ke-11 yang terletak di wilayah sengketa sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO—sebuah langkah yang disambut protes keras dari Thailand.
Terjadi bentrokan sporadis selama bertahun-tahun yang mengakibatkan tewasnya tentara dan warga sipil di kedua belah pihak.
Ketegangan terbaru meningkat pada Mei setelah seorang tentara Kamboja tewas dalam sebuah bentrokan. Insiden ini menjerumuskan hubungan bilateral ke titik terendah dalam lebih dari satu dekade.
Dalam dua bulan terakhir, kedua negara telah memberlakukan pembatasan perbatasan satu sama lain. Kamboja melarang impor dari Thailand seperti buah-buahan dan sayuran, serta menghentikan impor layanan listrik dan internet.
Kedua negara juga telah memperkuat kehadiran pasukan di sepanjang perbatasan dalam beberapa minggu terakhir.
Penjabat Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, mengatakan bahwa perselisihannya dengan Kamboja masih "rumit", dan harus ditangani dengan hati-hati serta sesuai dengan hukum internasional.
Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, mengatakan negaranya ingin menyelesaikan perselisihan secara damai—namun, ia menambahkan bahwa negaranya "tidak punya pilihan" selain "menanggapi agresi bersenjata dengan kekuatan bersenjata".
Baku tembak serius antara kedua negara telah mereda relatif cepat.
Namun, meskipun tampaknya pertempuran saat ini tidak mungkin meledak menjadi perang skala penuh, kedua negara saat ini kekurangan pemimpin dengan kekuatan dan keyakinan yang cukup untuk menarik diri dari konfrontasi ini.
Hun Manet, putra mantan pemimpin otoriter, belum memiliki otoritas sendiri—dan Hun Sen, ayahnya, tampaknya bersedia memperkeruh konflik ini demi meningkatkan kredibilitas nasionalisnya.
Di Thailand, terdapat pemerintahan koalisi yang goyah yang didukung oleh mantan pemimpin otoriter lainnya, Thaksin Shinawatra.
Thaksin yakin bahwa ia memiliki hubungan pribadi yang dekat dengan Hun Sen dan keluarganya, dan merasa dikhianati oleh keputusan Hun Sen untuk membocorkan percakapan pribadi yang menyebabkan putrinya, Paetongtarn Shinawatra, diskors sebagai perdana menteri.
(Rahman Asmardika)